dua

733 17 0
                                    

"Heh! Pergi lo, jangan coba-coba ngerampok gue!"

"Udah diajak ngerampok berapa bank sama bapak lu, hah?!"

Aku terus berjalan, menulikan telingaku dari ucapan kejam mereka. Yah, sebetulnya, aku sudah sering mendengar kata-kata yang lebih kejam dari itu.

Ayahku adalah seorang mantan narapidana. Ia sempat merampok beberapa bank terkenal selama beberapa minggu dan tak sengaja membunuh seorang pegawai, sebelum menyerahkan diri ke polisi. Entah apa yang membuatnya melakukan itu. Setelah ia keluar dari penjara, ia bertemu dengan ibuku dan membangun sebuah keluarga.

Tak seperti yang orang lain pikirkan, keluargaku harmonis dan saling menyayangi. Ayahku sangat menyayangiku, dan aku juga menyayanginya meskipun hidupnya pernah ditunjang oleh uang hasil kehajatan.

Aku percaya bahwa ayahku telah berubah. Ia adalah seorang kepala keluarga yang menyayangi keluarganya, bukan seorang perampok yang menodongkan pistol kepada korban-korbannya.

Ibuku adalah wanita yang hebat. Wanita yang berhasil meluluhkan seorang perampok menjadi ayah yang penyayang. Ibu yang selalu mengayomi dan mendidik anak-anaknya.

Aku juga memiliki dua adik kembar yang masih berumur sembilan tahun. Mereka selalu menghiburku dengan tingkah lucu mereka ketika aku merasa sedih.

Tak terasa, aku sudah dekat dengan gubukku.

Gubuk, yang walaupun peot dan rapuh, memancarkan kehangatan sebuah keluarga.

Tanganku terulur untuk mendorong potongan genteng bekas yang digunakan sebagai pintu, dan kemudian dibuat terperangah oleh pemandangan di depanku.

Kedua orangtuaku berdiri di sana dengan sebuah kue di tangan mereka. Kedua adik laki-lakiku berada di samping kanan dan kiri orangtuaku, memakai topi-topi kerucut lucu dengan motif polkadot.

"Selamat ulang tahun!" ucap mereka riang dan semangat.

Kehangatan mengaliri dadaku bersamaan dengan kebahagiaan yang membuncah di hatiku. Mataku berkaca-kaca melihat orang-orang yang kusayangi itu.

Aku langsung berlari memasuki rumah, menyambut pelukan sayang dari ayahku. Tak lama kemudian, pelukan itu berubah menjadi sebuah gendongan.

"Putri kecil ayah sudah besar ya ternyata," kekeh ayah.

"Tentu saja, Robert. Lihatlah, ia bahkan sedang berulang tahun ke 15 hari ini," ucap ibu sembari tersenyum.

"Waktu berlalu begitu cepat," lirih ayah, "Rasanya baru kemarin aku bermain dengannya, mendorong ayunannya, mendongenginya, ataupun menggenggam tangan kecilnya itu supaya ia bisa tidur."

"Aku bukan anak kecil lagi, ayah!" ucapku, mengerucutkan bibir.

"Tentu saja, mana mungkin ada orang dewasa yang masih digendong ayahnya," sindir ayah tersenyum geli. Aku buru-buru menurunkan diriku sendiri dari gendongannya dan berkacak pinggang.

"Ayah menyebalkan!" sungutku, "Ayah harus dihukum!"

Aku berlari dan menggelitiki ayah dengan heboh.

"Hey, hey! Apa-apaan ini! Ayah memelukmu ketika kau bertingkah nakal, lalu kenapa kau menyiksaku seperti ini? Tidak adil!" Ayah menatapku dengan tatapan sok-tersakiti dan aku membalasnya dengan cengiran tak berdosa.

Ia tak kuasa menahan kekehannya ketika melihat ekspresiku. Ia mendekat dengan senyum lembut di bibirnya. Sorot matanya sarat akan kasih sayang seorang ayah.

"Aku menyayangimu, kau tau itu?" ucapnya sembari mengelus rambutku.

Aku tersenyum.

Tentu saja aku tahu, ayah.

Aku juga tahu kau bekerja setiap hari demi membelikanku kue ini. Sebesar itu kau menyayangiku, bekerja paruh waktu dengan gaji yang tak seberapa hanya demi membahagiakanku.

Aku tahu.

"Meskipun kau sekarang berumur 15," ayah menelan ludahnya dan menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kudefinisikan, seperti ada yang ia sembunyikan. Namun, ia buru-buru mengubah sorotnya menjadi lembut kembali, mengenyahkan apapun itu yang memasuki pikirannya.

"Kau akan selalu menjadi putri kecil ayah, Shiela."

Putri KecilmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang