Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tatapanku menembus jendela bus yang kini buram tertutup butir-butir air. Hujan usai, bersamaan dengan kenangan yang dibawanya pergi.
Kini aku tahu, apapun yang berlebihan tidaklah pernah bagus, sekalipun hal itu adalah cinta. Orang bilang, perbedaan cinta dan benci memang setipis sehelai kain.
Kurasa itu benar. Ketakutan ayah yang bertumbuh sebesar cintanya padaku, dan cinta ibu pada ayah yang buta.
Aku menghela nafas. Hidup harus terus berjalan, aku tahu itu. Namun, sudut hati terdalamku tetap menyimpan sebuah harapan. Harapan akan akhir yang berbeda.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Aku harus realistis, ucapku menyemangati diriku sendiri. Larut dalam kesedihan dan harapan semu tak akan membantu.
Perhatianku teralih ketika televisi bus menampilkan berita perampokan bank. Salah satu perampok menembak orang-orang di sana dengan membabi buta sebelum dihentikan temannya. Terdapat total 15 korban yang tertembak perampok itu.
Mataku tiba-tiba memanas.
"Lima belas..," bisikku.
Ayah.. kaukah itu?
Entahlah, dugaan itu spontan melintas di kepalaku. Memang tak ada bukti kuat untuk mendukungnya, ayah. Jika dipikirkan, aku bahkan tak bisa mengenalimu ketika kau marah. Akan tetapi, firasatku begitu kuat. Aku tahu itu kau. Sebab..
Aku akan selalu menjadi putri kecilmu, ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Kecilmu
Short StoryBagi Shiela, keluarga adalah hal yang terpenting. Meski ayahnya seorang mantan narapidana, meski keluarganya selalu dicaci maki, dan meski keluarganya amatlah miskin, Shiela menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Tak perlu mendengar apa kata orang l...