Hening menyergap ruangan seiring kakinya melangkah keluar dari gubuk kami. Ayah tetap setia menatap lantai tanpa mengucap sepatah kata pun. Ibu menghela nafas, berjalan ke arah ayah dan berbisik pelan.
Aku dan adik-adikku saling bertukar pandang, namun kami memutuskan untuk tetap diam.
"Tidak bisa, Ana! Tidakkah kau mengerti?!" marah ayah setelah beberapa saat mereka berbincang.
Kami semua terperanjat.
Sekesal apapun ayah, ia tidak pernah memarahi ibu seperti itu. Ibu berjalan mundur, menatap suaminya tak percaya. Matanya berkaca-kaca dan isaknya terdengar seiring ia berjalan menuju halaman belakang.
"Tenangkanlah ibu," pintaku pada kedua adikku. Mereka mengangguk patuh dan segera menyusul ibu.
"Ayah..," panggilku sembari menepuk pundaknya.
Ayah menepis tanganku begitu saja. Aku terkesiap menatap sosok yang selama ini membesarkanku dengan segala kehangatannya.
"Aku bukan ayahmu," ucapnya dingin, masih tak mau menatap mataku.
"A-apa maksud ayah?" tanyaku terbata-bata.
"Bukankah kau malu dan jijik memiliki ayah sepertiku? Seorang narapidana yang dulunya merampok bank dan bahkan sempat membunuh pegawai bank," kekehnya sinis.
"Aku tidak menganggapmu begitu, ay-"
"Apa yang ia katakan itu benar," potongnya, "Aku memperkosa dan membunuh seorang gadis 15 tahun. Seumuran denganmu. Akui sajalah, Aku ini memang monster!"
"Ayah, aku-"
"Jauhi aku!" bentaknya.
"Aku tidak membencimu, ayah!" teriakku tak tahan. Aku tahu, ayah telah melakukan berbagai perbuatan keji di masa lalu. Namun, aku juga tahu ayah sangat menyesali semua itu.
"Tidakkah kau mengerti?!" matanya menatapku nyalang dan penuh emosi.
"AKU MEMPERKOSA DAN MEMBUNUH GADIS ITU, SHIELA!" ia berteriak, memojokkanku ke tembok, "Kau ingin tahu seberapa kejamnya aku? Beginilah caraku membunuh gadis itu setelah menyiksanya semalaman!"
Ayah menunjukkan jari telunjuknya, menggerakannya seolah sedang menyayat tangan dan leherku. Seringainya muncul, menunjukkan ekspresi khas psikopat.
Keringat dingin menuruni pelipisku dengan perlahan. Rasa takut, khawatir, sedih, dan kecewa, semuanya bercampur aduk di benakku.
"Aku menyayat tubuhnya, memastikan ia merasakan sakit setiap detiknya hanya demi menyalurkan kegilaanku," ia berbisik sambil menajamkan sorot matanya.
Ia mengamuk, "IBUKU HAMPIR MEMBUNUH DIRINYA SENDIRI KARENA AKU!"
Aku terkesiap. Badanku terasa lemas seketika seperti ada yang menyerap seluruh tenagaku. Mataku tetap menatap ayah dengan sorot tak percaya.
Ia bukan ayahku, bisikku berulang kali dalam hati.
Ayahku adalah sosok hangat yang menyayangi anak-anaknya. Sosok yang akan selalu ada saat aku membutuhkannya dan mengajarkanku banyak hal. Bagaimana bisa ia berubah 180 derajat?
Erangan frustasi ayah membuyarkan lamunanku. Ia berjalan mundur perlahan.
"Aku memang tidak pantas menjadi ayah. Tak pantas menjadi anak, ataupun suami. Aku ini monster. Aku hanya pantas menjadi perampok dan pembunuh. Aku merugikan semua orang yang memiliki hubungan denganku. Aku ini monster," racaunya pelan pada dirinya sendiri, namun cukup keras untuk terdengar olehku.
"A-Ayah..."
Ayah tak mendengarkanku sama sekali.
Ia mengambil beberapa barang dan memasukkannya ke dalam sebuah tas. Lalu ia pergi begitu saja meninggalkan gubuk kami, tak mengindahkanku yang hanya menatapnya nanar sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Kecilmu
NouvellesBagi Shiela, keluarga adalah hal yang terpenting. Meski ayahnya seorang mantan narapidana, meski keluarganya selalu dicaci maki, dan meski keluarganya amatlah miskin, Shiela menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Tak perlu mendengar apa kata orang l...