🌓

17 6 0
                                    

Wanita berpakaian hitam itu tersenyum lebar. Mendapati satu orang yang sudah dinantinya muncul dengan postur tegap dan ekspresi wajah yang tegas, ia merasa semakin puas dalam cara yang agak membingungkan. "Duduklah," katanya pelan.

Yoongi memandangi ruangan temeram tersebut. Ada beberapa guci antik, meja lebar hitam, dan beberapa figura yang terlalu usang untuk dipajang. Sebagian punya foto yang jelas, sebagian nampak kabur bagaikan kanvas pekat.

"Jadi ..."

Yoongi terkesiap dan memandang lurus wanita tersebut. "Yah, aku siap."

Ia mengangguk penuh arti. Tidak pernah ada yang menghadapnya seyakin ini, jadi mungkin Yoongi memang spesial seperti yang sudah ia perkirakan. Akhirnya, ia membuka lacinya sembari mengeluarkan beberapa perkakas yang ia perlukan; lembar kosong, tinta, lengkap dengan bulu angsa sebagai pena. "Granny pasti akan terkejut kalau tahu kau benar-benar mendatangiku untuk satu hal ini."

"Seharusnya dia tidak perlu bereaksi berlebihan," sahut pemuda tersebut enteng. "Dia tahu aku."

"Tapi tidak seluruhnya."

Yoongi berdecak. "Jangan mengulur waktu lagi—" Si wanita itu menarik kursinya maju sehingga dia dapat menatap lekat sepasang mata Yoongi yang mendelik tajam kepadanya. Sayang sekali, kau malah datang kemari, Nak. Ada secuil perasaan bersalah sekaligus sesak yang menyelumbungi dadanya bagaikan kepulan asap, tidak diundang, aneh dan menyesakkan.

"Kau benar-benar tidak ingin di sini ya?"

"Aku tidak pernah mau sejak awal," katanya lantas menerima lembaran yang perlu dia bubuhkan tanda tangan. Sebelum ini, mereka sudah bertemu untuk membicarakannya. Si wanita ini pun sudah tahu bahwa sejak awal, Yoongi punya tekad yang bulat seperti bongkahan es kasar. Tidak akan gentar meskipun ada badai yang menerpanya. Seolah dia memang tidak ingin terlahir.

"Kau akan mendapatkan masalah, lebih daripada yang kau kira," katanya pelan, memperingati.

Yoongi menarik senyuman separuh, memamerkan giginya yang berwarna putih. "Aku sudah siap untuk itu. Selama perjalanan kemari, aku benar-benar sudah memperhitungkannya. Bukankah kau tidak perlu khawatir soal itu? Itu bukan tanggunganmu kan?"

Si wanita mengangguk dengan lamat-lamat, membuat Yoongi cepat memandangnya lebih intens.

"Kau tidak perlu merasa kasihan kepadaku. Kematian bukanlah yang aku takutkan."

*

*

*

Yoongi meneguk air dalam cawan tersebut. Dia agak meringis mendapatkan satu sayatan di dekat pergelangan tangannya, tapi itu bukan apa-apa karena rasa perih yang menyebar terasa familiar daripada sekitarnya. Si wanita berpakaian hitam itu memandanginya dengan wajah sulit terbaca. "Apakah sudah selesai sekarang? Aku bisa lihat sekarang?"

"Tentu."

Yoongi bangkit dari kursi bersandaran besar tadi untuk kemudian mengikuti langkah sosok di depannya. Ada aura yang tidak pernah surut di sini, dan Yoongi sejenak merasa bulu kuduknya meremang apalagi bau amis dari wadah yang wanita itu bawa; berisi darahnya.

"Dengarkan aku. Peraturannya mudah mulai sekarang—jangan memberitahu siapapun soal kartu tersebut atau ..."

"Atau apa?"

Ia berbalik, begitu mendadak sampai Yoongi hampir mundur di posisinya berdiri. "Atau dia akan ikut mati denganmu. Kartu ini adalah hal sakral, milikmu, sebagaimana kau menjaga jiwamu sendiri. Jika kau ... jika kau tidak mau terkena masalah maupun hal-hal yang akan menghambat kematianmu, maka dengarkan saja aku. Simpan kartu ini baik-baik dan jalani hidupmu sampai ajalmu itu tiba, paham?"

Yoongi mengangguk singkat.

"Bagus. Sekarang, kita lihat kapan kau akan mati." Wanita itu menghela napas panjang. "Kau masih begitu muda, astaga. Bagaimana jika kau mati tua dan perlu menanggung informasi itu dari sekarang?" Ia masih menggerutu sewaktu akhirnya meraih benda tersebut, kemudian melanjutkan prosesi akhir dari ritual yang mereka mulai. Yoongi bagaikan anak kucing yang penurut, memperhatikan dengan mata yang tidak berkediap kemudian duduk saat diperintah. Sampai benda itu berada di kedua tangannya, terpampang jelas.

Waktu kematian Min Yoongi:

Tulisan putih itu mencolok di atas kartu hitam—Kartu Kematiannya.

[]

ECLIPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang