Pagi-pagi sekali—bahkan saat azan subuh belum berkumandang—seseorang mengetuk pintu rumah. Suara ketukannya sangat kencang membuat saya terjaga. Dengan mata terkantuk-kantuk, saya membuka pintu. Wujud seorang wanita muda yang saya lihat kemarin sore, tampak berdiri membelakangi pintu ketika pintu terbuka. Spontan saya mundur satu langkah, terkejut.
"Maaf, Pak. Saya ganggu, ya? Boleh minta tolong nggak?" ucapnya seraya memutar badan.
Sweater hijau army yang membungkus badan kecilnya—saya bilang kecil karena tingginya hanya sebatas pundak saya—terlihat kedodoran. Wanita ini—barangkali lebih pantas kalau saya sebut bocah, menggosok pangkal hidung dengan telunjuknya.
"Kamu siapa?" tanya saya setelah menguap.
"Saya Enzi, tinggal di samping rumah Bapak mulai kemarin. Sebenarnya saya tinggal sama orang tua dan dua adik laki-laki saya, tapi mereka masih di Malaysia. Kemungkinan tahun depan kami bisa tinggal bareng lagi. Saya balik duluan karena ...."
"Saya nggak minta kamu ceramah, saya cuma tanya keperluan kamu apa sampai bangunin tidur saya sepagi ini?"
Enzi merapatkan mulut kemudian tersenyum kecil. "Saya minta maaf sudah mengganggu istirahat Bapak. Kepindahan saya ke sini memang mendadak jadi saya nggak sempat nyiapin segala macam. Listrik rumah saya tiba-tiba padam. Kayaknya korslet. Boleh minta tolong benerin sekringnya nggak, Pak? Saya nggak ngerti urusan listrik-listrik."
Saya menarik napas panjang. Kok bisa anak ini disuruh tinggal sendirian sama orang tuanya padahal dia tidak bisa mandiri? Kalau memang keluarganya masih ada, kenapa dia tidak pindah ke sini barengan saja? Sangat aneh. Yang namanya orang hidup sendirian harus memiliki skill tambahan. Kalau tidak begitu, tetangganya yang kesusahan.
"Maaf, Pak," ujar Enzi lirih.
"Ya sudah, ayo."
Rumah yang ditinggali Enzi persis bersebelahan dengan rumah saya. Anehnya, kenapa saya sampai tidak menyadari tanda-tanda rumah ini akan ditempati. Biasanya bila ada rumah dalam tahap perbaikan dan pembersihan, para tukang akan bekerja bakti membenahi struktur bangunan dan interior rumah. Tapi, bagaimana bisa hal sebesar ini luput dari mata saya. Bagaimana bisa isu datangnya penghuni baru di kompleks ini juga tidak terendus.
"Nah, selesai," ucap saya diikuti nyala lampu seluruh ruangan.
"Akhirnya. Terima kasih banyak, Pak ...." Enzi menggantungkan kalimat, menatap saya sambil mengepak-ngepakkan bulu mata lentiknya.
"Garen."
"Ah, Pak Garen. Terima kasih, maaf kayaknya kapan-kapan saya bakal ngerepotin Bapak lagi. Apa lagi saya ini, kan, newbie. Nggak tahu apa-apa sama wilayah sini." Enzi tertawa lagi. Tampaknya dia sangat suka tertawa dan saya langsung melebarkan mata begitu mendengar ucapannya.
Sudah saya duga, orang tua Enzi agaknya tidak memerhatikan betul cara mendidik anak sesungguhnya. Tampaknya mereka melakukan sekenanya tanpa memerhatikan aspek sosial. Memang hal itu adalah urusan orang tua masing-masing, tapi setidaknya anak itu harus memiliki bekal cukup untuk menghadapi lingkungan biar tidak kelabakan. Bukannya saya tidak suka membantu tetangga, loh. Hanya saja kalau saya diminta mengasuh satu tambahan anak lagi seperti Enzi, ya ....
"Kamu kuliah?" tanya saya ketika Enzi mengantar saya hingga teras depan rumahnya.
"Saya sudah lulus kuliah, kok. Memang banyak yang mengira saya masih kuliah, bahkan ada yang ngira saya masih SMA. Mungkin wajah saya terlalu baby face kali, ya. Padahal ...."
Padahal saya tidak meminta bercerita, tapi Enzi malah meneruskan kisahnya. Lagi pula mau dia masih kuliah atau tidak, itu bukan urusan saya. Nah, pas banget suara azan terdengar. Saya hanya mengangguk satu kali sebagai tanda pamit. Saya berharap Enzi belajar banyak setelah kejadian ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Deserve Not to be Single
General FictionDi usia yang melewati empat puluh, Garen masih belum memikirkan pernikahan karena fokus kepada dua anak laki-laki yang ia asuh sejak kakaknya meninggal. Tetapi, ketika Enzi pindah ke rumah tepat di sampingnya, apakah gadis berumur dua puluh empat ta...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi