Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

Empat

22.4K 2.5K 86
                                    

"Pak, kita punya tetangga baru, tapi, kok, nggak ada acara selamatan, ya? Semacam perkenalan silaturahim gitu. Tetangga barunya juga nggak keliling kompleks kita. Sekadar permisi atau gimana," tanya Pak Purnomo ketika kami mendapat jatah giliran meronda malam itu.

"Benar. Saya juga sering ketemu sama mbak-mbak yang tinggal di samping rumahnya Pak Garen. Ya, kalau ketemu cuma senyum saja. Namanya saja saya nggak tahu," tambah Pak Roni.

Kelompok yang bertugas meronda malam ini terdiri dari empat orang. Saya, Pak Purnomo, Pak Roni, dan Pak Awang—sang ketua RT. Sebagian besar topik yang dibicarakan di pos ronda kali ini seputar tetangga baru. Apa lagi tetangga barunya wanita muda yang tinggal sendiri. Semacam bahan pembicaraan menarik bagi bapak-bapak ini. Menimbulkan persepsi macam-macam di benak orang yang tidak mengenal dengan benar.

"Ya, itu coba tanya Pak Garen. Kan, Pak Garen yang dekat sama mbak-nya," sahut Pak Awang tertawa kecil.

"Loh, Pak Garen sudah kenalan, to? Namanya siapa, Pak?" tanya Pak Roni sambil memindah bidak catur. Hiburan selama meronda ya seperti ini, kopi, camilan, papan catur, dan obrolan ringan. Kadang malah diselingi curhatan.

"Namanya Enzi, sudah lulus kuliah. Pindahan dari Malaysia. Keluarganya masih di sana, dia ke sini sendiri. Saya juga nggak paham orang tuanya di sana kerja apa dan kenapa dia ke sini sendirian," jawab saya sambil menuang kopi dari termos.

"Umurnya berapa? Kok, kayaknya seumuran adiknya Fadil. Kalau masih single boleh itu biar saya kenalin sama Fadil. Daripada jadi bujang lapuk. Kayaknya Enzi anaknya baik-baik," celetuk Pak Purnomo.

Saya tertawa. Fadil adalah putra sulung Pak Purnomo, usianya tiga puluh satu tahun.

"Yah, silakan diperkenalkan saja, Pak." Saya tersenyum seraya mengangkat gelas berisi kopi.

"Ya nanti kalau anaknya mau, Pak. Fadil kan di Jakarta, nanti kalau dia pulang Jogja, lah."

Kemudian obrolan berlanjut dengan topik berbeda. Pukul tiga pagi, tiba giliran saya dan Pak Awang berkeliling untuk mengambil uang jimpitan di masing-masing depan rumah warga. Sementara Pak Purnomo dan Pak Roni berjaga di pos ronda. Ketika saya mengambil uang lima ratus rupiah di depan rumah Enzi, pundak saya ditepuk Pak Awang dari belakang.

"Sebelum Enzi masuk rumah ini, dia mampir ke dulu rumah saya. Dia bertanya bagaimana lingkungan bertetangga di sini. Selain itu dia juga minta saya menjelaskan seperti apa karakter orang-orang yang rumahnya paling dekat dengan dia. Saya ceritakan sekilas tentang Pak Garen, Pak Rahman, Pak Roni dan Pak Andi." Pak Awang menengok rumah Enzi kemudian tersenyum memandang saya. "Awal tahun nanti keluarganya baru menyusul ke sini. Saya kenal keluarganya soalnya saya yang merekomendasikan mereka tinggal di sini. Jadi, saya juga minta tolong sama Pak Garen buat ikut memantau perkembangan Enzi sebagai pengganti orang tua sementara selama keluarganya belum datang, ya. Kayaknya Enzi lebih percaya sama Bapak daripada sama saya."

Jadi ini alasannya kenapa Enzi hobi nyelonong keluar masuk ke rumah saya. Dia juga tidak segan bertamu sebelum fajar tiba. Lebih tepatnya, mengganggu ketenangan. Waktu istirahat saya menjadi berkurang gara-gara ulah Enzi. Dan, penjelasan Pak Awang barusan justru membuat kepala saya semakin pening. Mengawasi Resaka dan Dheka saja sudah cukup kewalahan, masa harus ditambah mengawasi perkembangan Enzi. Anak itu, kan, sudah dewasa. Seharusnya bisa mengatur dirinya sendiri.

"Buat apa, Pak? Dia sudah dewasa, bisa mengurus diri sendiri. Lagian kenapa pindahnya nggak bareng sama orang tuanya saja? Kalau kayak gini malah merepotkan orang lain. Kenapa bukan Pak Awang saja yang ngurus Enzi?" protes saya. Seketika saya kesal diminta mengurus satu bocah lagi. Dua saja sudah repot, mau ditambah satu lagi. Bukannya tidak ikhlas, tapi ini aneh.

You Deserve Not to be SingleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang