Prolog

21 2 0
                                    

“Kau tau? Apa yang lebih berarti dari semua ini?” sambil memainkan kuas di tangannya. Aku terkejut spontan membelalakkan mataku ke arahnya.

“Maaf pak, maksudnya apa ya?” tanyaku, seketika dia berhenti memainkan kuasnya dan meletakkan secara hati-hati. Mata kita bertemu.

“Jadi gini Ras, yang lebih berarti dari semua ini adalah kita. Kita saling sayang namun susah bersama? Kenapa kok susah? Karena dari segi usia kita terpaut jauh, mana status kita beda jauh, masa depan kamu masih panjang Ras—apa kamu mau melihat saya perjaka tua hanya karena menunggumu?”

Mendengar apa yang dia katakan hatiku begitu perih, sangat perih bagaikan jarum semuanya ditusukkan ke dadaku, air mata yang tak bisa kubendung lagi mengalir deras begitu saja. Bagaimana mungkin hubungan yang sudah dijalani bertahun-tahun akan berakhir begitu saja?

“Ini serius kan? Ini tidak bercanda kan? Tidak mungkin kamu tidak bisa meninggalkanku begitu saja! Kamu sudah janji sama saya untuk selalu bersama saya! Kamu janji kamu tidak akan ungkit ini lagi dan kamu tau kan saya benci mendengar perpisahan!”

“Apa kamu tega melihat saya terus seperti ini Rasi? Hidup penuh cacian dan hinaan orang tua saya, saya sudah capek Ras! Orang tua saya menjodohkan saya dan bodohnya saya hanya mencintai kamu! Aaakkhh!!!! Apa kamu tidak mempunyai perasaan itu terhadapku?” Ujarnya membuatku tak kuasa menjerit meronta-ronta kesakitan. Hatiku semakin perih,  Ya Tuhan aku mencintainya sangat mencintainya!

“Katanya kamu janji tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi, tapi kenapa sekarang kamu gini lagi?” aku menggenggam tangannya, namun naas—dia menghindar.

Burung-burung sibuk bercengkerama dengan semesta pagi, namun berbeda dengan dua hati yang sibuk berdebat misi—antara kehilangan dan menghilangkan, aku sangat mencintainya. Namun jika ini keputusannya, aku harus meninggalkan cinta yang tak di restui semesta ini.

“Saya mencintaimu Ras, bukan dia yang dipilih orang tuaku”

Deg..deg..deg..

“Semoga yang disana adalah rasa yang sementara, sedangkan yang disini adalah rasa yang selamanya. Kau dan aku adalah satu rasa yang manakala Tuhan tidak menciptakan semesta indah untuk kita. Melainkan derita yang seharusnya kita usir, bukan kita rawat apalagi menjalinnya, membalutnya dengan cinta hingga pada akhirnya harus seperti ini. Bukan salah semesta, melainkan salah kita!”

Dia terdiam, dan aku memeluknya.

“Aku mungkin bukan pemeran utama, tapi aku juga punya cerita. Dan ini kisahku

I Love You, SirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang