“Aku selalu melihat ke arahmu, bahkan tanpa kusadari, bahkan tanpa kau sadari,”
Desir angin melambai-lambai ke arahku, rambut yang sedari tadi menyibak ke depan membuatku harus berkali-kali mendorongnya ke belakang. Sembari novel yang kubaca, setiap kata yang ada dalamnya mengundang sejuta makna dalam setiap katanya—membuatku tertawa, tersenyum, kadang juga sedih. Ini adalah hari Minggu, ya—hari dimana membuat hatiku tenang dan tentram tanpa ada godaan dari siapapun, sengaja handphone kumatikan agar di hari yang langka ini bisa mengembalikan otak dan hatiku menjadi fresh kembali.Aku terus membaca novelku yang bersampul biru itu, di bawah kursi taman belakang rumah dan di temani kitty si kucing peliharaanku sedang asik mengelus-elus bulunya yang halus itu dengan lidahnya, serta awan biru yang mendukung kuat untuk suasana hari ini. Ah, andai saja di rumah yang besar ini ada mama dan papa—pasti menginjak pukul 8 pagi ini aku tak akan bisa bersantai-santai, pasti aku akan disuruh cuci piring, menyapu lantai, mengepel lantai, menyiram bunga, dan lain-lain. Mereka untuk 3 tahun kedepan ini magang di luar negeri untuk melaksanakan tanggung jawab mereka sebegai pengusaha besar di kota ini. Omelan mereka, candaan mereka, bahkan pelototan mereka yang tak membuatku bosan—aish, aku rindu mereka.
Kututup novel bersampul biru yang berjudul “Cinta Tak Seharusnya” itu secara perlahan, lalu kubaringkan badanku ke kursi taman dan kini wajahku bertemu sang semesta, aku tersenyum dan sesekali mataku menyipit silau, karena saking putihnya awan itu membuatku harus meringis namun tak jua bosan kupandang.
“Andai saja hatiku lebih cepat sembuhnya, pasti aku tak kan selama ini sendiri,”
“Semesta, jika engkau berkenan—tolong gambarkan wajahnya lewat kapas putihmu,”
“RAASSS!!!” tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan rumah sontak membuat mataku terbuka terbelalak lebar dan spontan saja tubuhku terhoyong sigap berdiri dan berlari menuju ke sumber suara. Kulihat wanita cantik bergaun putih itu dengan memasang muka cemberut dan mata sebal menatap ke arahku, aku meringis pelan dan meletakkan buku novelku ke meja teras depan rumah. Lalu berjalan ke arah pagar untuk membukakan si Tere yang berangsur sebal padaku. Dan tunggu, dia tidak sendiri.
“Kamu kenapa nggak tidur di kos sih!? Aku semalam tidur sendiri tau! Aku kirain kamu bakal balik!” ujarnya sembari berjalan melewatiku dan asal nyelonong masuk ke rumah. Aku terkekeh pelan serta mengikuti arus langkahnya.
“Aku rindu papa dan mama Re,” ujarku sembari tersenyum, seketika wajahnya berubah menjadi iba dan matanya kembali tertuju ke lelaki berkaos merah dipadu celana jeans yang terkesan keren, aku tak mau menatapnya karena jika mata kami bertemu, habislah sudah kiamat.
“Kamu dari mana Re?” tanyaku sambil menyodorkan air minum untuk mereka berdua. Tere tersenyum dan menggenggam erat tangan Budo, dan tak sengaja mata kita bertemu, sial! Dia mengejek menyombongkan dirinya.
“Tadi pagi aku ibadah, lalu setelah ibadah aku dijemput Budo ke depan gereja dan kami pergi deh jalan-jalan hehe,” Jawab Tere bangga, wajahnya berseri-seri dan merah mudanya merona di pipinya yang manis itu. Aku tak sadar tersenyum tipis dan kembali menatap mata bocah itu—kembali kumendengus sebal.
“jalan-jalan sih iya, tapi kuberi kesempatan terakhir untuk si bocah ini menginjakkan kaki kerumahku!” ucapku sambil mengambilkan kue untuk mereka, namun nais! Budo menghampiriku dan dengan sigap merebut kue itu dariku. Aku segera mengejar dan berlari ke arahnya, namun nihil—dia telah memakan sebagian dari banyaknya kue itu. Shit day untuk kesekian harinya.
Kriingg..kriiingg..
“Halo?”
“Assalamualaikum nak Rasi, ini saya sendiri dari ibunya Arrya,” ujar suara wanita tua itu dari dalam telepon membuat hatiku memanas dan ingin meledak, kakiku gemetaran dan tak karuan rasanya. Aku kembali mengontrol diriku dan sebisa mungkin senyum kukembangkan sekembang mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Sir
Novela JuvenilKita sepasang yang saling sayang, namun bersama? Ah itu mustahil rasanya!