Oh, Jadi Dia?

5 0 0
                                    

“Di teriknya mentari yang tega menyengat kulitku, di tengah kekesalan kau menggoda hatiku,”

Angin lembut menyisir rambutku, buku-buku yang sesekali hampir jatuh dari pelukan berhasil membuat semua rambut panjangku jatuh terlepas dari jepitan di telinga. Sesekali kubersumpah serapah untuk hiruk pikuknya kota Jakarta yang sangat panas ini—bagaimana bisa kota sepanas ini? Angin pun tak sanggup meniup sengatannya sinar mentari, padahal ini masih jam 8—huft, panasnya luar biasa. Membuat kulitku putihku memerah dan alergi panasku pun sepertinya hampir kambuh.

Aku dengan gontai dan penuh dengan keterpaksaan terus melangkah, sesekali kumelihat orang-orang yang sama mengeluhnya dengan cuaca kota ini. Namun berbeda dengan Tere, gadis yang masih tinggian aku ini sesekali tak memasang muka mengeluh, rasa semangatnya mengalahkan panasnya cuaca ini. Dia terus menyunggingkan senyum melihat smartphone-nya dan mengetik pesan whatsapp panjang lebar. Ia tak memerdulikan rambut ikalnya yang tergerai panjang itu berkibas kesana kemari karena terkena angin, ia juga tak peduli ada kucing yang melintas di depannya. Dan ia juga tak peduli poni doranya menusuk ke dalam mata. Yang tidak pernah bisa ia lepas dari pandangannya hanyalah smartphone-nya.

“Kamu ngapain si Re?” tanyaku penasaran, ia tak menggubris dan tetap fokus mengetik pesan panjang lebar pada seseorang.

“Tereeee!!” panggilku, dia hanya menjawab “hm?” namun matanya tetap fokus ke itunya dan jemarinya tetap menari di keyboard layar sentuhnya.

Kesalku dibuatnya akhirnya kuambil paksa smartphone yang ia genggam, dan kulihat chat yang sedari dia sibukkan. Kulihat nama kontak “Pak Irfand”.

“Ini siapa? Elu chattingan  sama bapak-bapak?” tanyaku polos, dia mendengus kesal dan mencoba kembali merebut smartphone-nya—namun naas, dia tak segesit aku. Dia bersumpah serapah untukku dan aku tak peduli.

“Sini kembalikan Rass!!” teriaknya dan aku tak menggubris kata-katanya dan tetap fokus membaca semua chat-nya dengan orang yang disebut “Pak Irfand” itu.

“Jawab dulu baru aku kasih,” tanyaku cuek, dia terdiam dan matanya tetap fokus padaku, dengan raut muka yang amat kesal dia menghembuskan nafas panjang.

“Oke aku cerita! Tapi jangan bilang ke siapa-siapa ya? Janji dulu?” ucapnya, aku menatapnya semakin penasaran. Siapa sih Pak Irfand? Tere yang aku kenal tak seterbuka ini kepada semua orang selain aku. Dan dia juga tak pernah masang muka sebahagia ini saat chattingan dengan semua orang kecuali ke adiknya saja. Dan Tere yang aku kenal, ia tak pernah jatuh cinta kepada siapapun.

“Oke janji,” jawabku, dan dia tersenyum.

Desir-desir sinar mentari semakin menyengat ke seluruh permukaan kulitku, ditambah asap-asap motor yang lewat kesana kemari, sesekali kumenutup hidungku sambil mendengarkan cerita Tere mulai dari A sampai Z. Aku mengangumi cerita Tere, aku menikmati perasaan Tere. Namanya adalah “Teresia Laia”, dia adalah teman pertamaku di Jakarta yang saat ini sedang kasmaran dengan adik si dosen baru yang bernama “Pak Irfand”. Aku semakin penasaran—bukan, bukan penasaran sama adiknya si dosen itu, melainkan aku semakin penasaran dengan yang namanya “Pak Irfand”.

“Jadi, kiranya aku cocok enggak sama dia Ras?” tanyanya, dan anehnya aku bingung harus jawab apa. Aku hanya meringis dan mengangkat bahuku pertanda tidak tahu—tere mendengus sebal dan menjitak kepalaku.

“Coba dong cerita lagi, hehe!” pintaku manja, dia semakin kesal dan langkahnya sengaja di percepat mendahuluiku dan tiba-tiba..

TINN!! TINN!!

“Woi kalau jalan lihat-lihat dong!” teriak lelaki di dalam mobil yang hampir saja menabrak kami. Aku yang menolong Tere yang terjatuh segera menghampiri itu mobil gila! Aku menggedor-gedor kaca mobil dan yash! Kaca mobil terbuka. Kulihat ada dua lelaki disitu, mataku menyipit menyelidik. Seorang lelaki berkulit putih dan memakai kemeja biru serta rambutnya yang hitam legam dan agak ikal, serta laptop yang ada di pangkuannya dipadu dengan celana jeans hitam dan sepatu kets yang terkesan keren menurutku. Dan yang disampingnya seorang pengemudi tampan yang berjaz hitam dan celana hitam serta sepatu pantofel hitam ala lelaki yang memberikan kesan berwibawa. Rambutnya juga sama hitam legamnya dan lurus tertata rapi, berbeda dengan lelaki yang ada di depanku ini. Namun wajah mereka mirip menurutku.

I Love You, SirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang