Seandainya bahagia itu semudah membalikkan telapak tangan, Alya yakin jika semua orang akan merasa bahagia dan tidak pernah lagi merasakan kesedihan atau tangisan kecuali tangis bahagia. Namun, rasanya tidak mungkin, sebab ada penulis skenario hidup yang begitu tahu segalanya, kapan orang ini bahagia atau pun bersedih, kapan orang ini jahat atau pun baik, semuanya sudah diatur oleh sang pencipta.Sejanak Alfi membuang napasnya dengan kasar, lalu menutup matanya. Membiarkan angin sore menyapa permukaan kulitnya. Rasanya begitu menenangkan.
Jika saja Mbok Mina tidak ada di dalam hidupnya, mungkin dia adalah seseorang yang sangat menyedihkan dan akan benar-benar merasa jika ia hanya hidup sendirian di dunia ini.
Alfi kembali membuka matanya saat dadanya kembali terasa sesak, ia mengatur napas agar rasa sesak yang menggrogoti hatinya pergi. Saat matanya tidak sengaja melihat ke halaman, ia bisa melihat mobil ayahnya memasuki pekarangan rumah. Alfi terus memandangi mobil itu, hingga berhenti di samping rumah.
Saat mobil itu berhenti, Farhan keluar lebih dulu, lalu disusul oleh Lastri dan Nadia yang masing-masing dari mereka membawa paper bag lumayan banyak. Nadia menggandeng tangan Farhan dan Lastri sambil tertawa, bahkan Lastri sempat mengecup rambut Nadia, dan semua kegiatan itu tak luput dari perhatian Alya yang berada di balkon kamarnya.
"Keluarga yang bahagia, dari sini aku bisa merasakan bagaimana sayangnya Ibu sama Nadia dan bagaimana sayangnya Ayah Farhan ke Nadia. Bolehkah aku iri sama Nadia? Bolehkah aku merasakan bagaimana di posisi Nadia saat ini? Sungguh, aku ingin benar-benar mengecap rasa bahagia yang sesungguhnya." Bibir Alya bergetar setelah menggumamkan harapannya barusan. Bahkan air mata yang sejak tadi dia tahan lolos begitu saja mengaliri pipi berisinya.
****
Karena merasa bosan di rumah, sore ini Alya berniat berjalan-jalan, ia pernah melihat ada taman yang tidak jauh dari kompleks rumah ibunya. Ini pertama kalinya Alya berjalan keluar rumah setelah kepulangannya dari pesantren. Kecuali waktu itu, ia ke pasar bersama Mbok Mina.
Tidak membutuhkan waktu lama Alya telah tiba di taman. Ada banyak orang di sini, mulai dari anak-anak, remaja bahkan orang tua yang duduk di kursi roda pun juga ada di taman ini. Lalu, pandangan Alya jatuh pada bangku panjang yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Ia mulai melangkahkan tungkainya menuju bangku tersebut. Namun, di pertengahan jalan, Alfi langsung bergeser ke samping kanan saat seorang gadis tidak sengaja menabraknya.
"Eh, maaf, Mbak. Aduh ...." Gadis yang tidak Alya ketahui namanya itu menatap Alya dengan tatapan bersalah, lalu memegang sebelah lengan Alya.
"Iya nggak papa, Mbak." Alfi tersenyum pada gadis yang Alfi perkirakan seumuran dengannya atau bahkan beberapa tahun di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketegaran Alya
Teen FictionBagaimana rasanya dibenci oleh Ibu kandung sendiri? Diperlakukan layaknya pembantu oleh adik sendiri. Selalu disalahkan padahal masalah yang dibuat hanyala sepele. Setiap harinya harus berpura-pura ceria seolah masalah tidak pernah hadir dalam hidup...