"Kak Hali?"
Perlahan-lahan Halilintar membuka kedua matanya. Kesadarannya yang sempat menghilang kini telah kembali.
Hal pertama yang dilihatnya adalah sebuah wajah dalam kegelapan. Halilintar mencoba mengedipkan kedua matanya berkali-kali dan berusaha memfokuskan pandangannya.
"Kak Hali... Oke kah?"
'Pertanyaan yang bodoh,' komentar Halilintar dalam batinnya. "Apa aku terlihat oke dimatamu?" dengkusnya dengan napas yang masih terasa sangat sesak. Dadanya terasa nyeri dan berdenyut-denyut ketika ia memcoba menarik napas
"Hey, aku khawatir denganmu, Kak."
Halilintar terdiam mendengar jawaban itu. Perhatiannya kini terfokus pada pelajar SMP yang berada bersama dengannya, dimanapun ia berada saat ini.
Halilintar mengenali pelajar itu dari Sejumput surai putih diantara rambut hitam di kepalanya. Kacamata model visor yang sudah retak-retak dan bertengger di wajah pelajar SMP itu membuat Halilintar yakin bahwa ia sedang bersama adiknya yang paling kecil. "Solar?"
"Ya kak?" jawab si adik.
Halilintar menatap adiknya yang paling kecil itu. Baju seragamnya terlihat sobek di beberapa tempat, kacamata model visornya retak, pada bibirnya terlihat sisa bercak-bercak darah yang sudah mengering. Benarlah dugaan Halilintar bahwa adiknya yang terkenal sebagai kutubuku itu yang telah menolongnya, walaupun terlambat dan tidak banyak gunanya. "Kamu ... dihajar mereka juga?"
Solar mengangukkan kepalanya. "Iya ... Mereka memukuli aku," jawabnya dengan meringis. "Kakak pingsan, habis itu kita diseret ke gudang sekolah ini."
Halilintar menghela napas panjang ketika ia memperhatikan kondisi adiknya yang berjongkok di sampingnya. "Seharusnya kamu jangan ikutan, Solar. Mereka itu anak-anak yang kalah berkelahi denganku, mereka mau membalas kekalahan mereka."
"Lalu aku harus membiarkan kakakku dihajar habis-habisan?" pertanyaan Solar membuat Halilintar terdiam, "Aku memang ngga suka berkelahi, aku ngga sekuat Kak Blaze atau Kak Hali sendiri, tapi aku ngga bisa membiarkan kakakku sendiri dipukuli."
"Solar, Solar ...." Sembari melenguh panjang, Halilintar berusaha membalikkan badannya yang tergeletak dalam posisi terlentang. Beberapa kali ia terbatuk ketika dadanya bersentuhan dengan lantai ketika ia sudah dalam posisi tengkurap. "Bukannya aku ngga suka kamu menolongku, tapi terlalu berbahaya buatmu, tahu?"
"Tapi, Kak-"
"Aku sudah biasa babak belur begini, Solar. Bukan hal yang baru. Segini belum ada apa-apanya buatku." Memang Halilintar bukanlah pemuda yang lemah. Biarpun badannya terasa sakit dan nyeri akibat dikeroyok, ia masih bisa berusaha untuk berdiri. Namun kali ini usahanya terhenti ketika ia mencoba menjejakkan tangannya ke lantai.
Sengatan rasa nyeri yang luar biasa pada tangannya membuatnya jatuh kembali. Mati-matian Halilintar berusaha untuk tidak menjerit kesakitan sembari bergulingan memeluk tangan kirinya.
"Kak Hali!"
"Grrhh!" lenguh Halilintar diantara rahangnya yang terkatup rapat, "Tanganku... retak."
"Tangan mana ada retak, kak. Yang bisa retak itu tulang," koreksi si adik yang tidak kenal tempat dan waktu.
"Oh terima kasih," ketus Halilintar dengan nada sarkastik ketika ia mencoba untuk bangkit kembali. Kali ini ia memakai tangan kanannya untuk bertumpu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahlawanku
FanfictionTidak perlu tenaga super untuk menolong kakak yang disayangi, apalagi kalau kakak itu adalah Halilintar yang baru saja sembuh dari sakit.AU, Elemental sibblings, tanpa super power, typo. Family, Spiritual