Bab 4 - Kalut

575 11 5
                                    

Sekujur tubuh Jason linu. Rasanya seperti habis digebukin orang sekampung. Laki-laki itu bangkit terhuyung membuka kotak kecil pada bagian bawah kotak saksofon.

Brengsek. Ia cepat-cepat menghabiskan apa yang masih tersisa. Dengan gemetaran, ia berusaha naik kereta bawah tanah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin. Penumpang lain yang tak tahu akan mengira ia hanya seorang penumpang yang sedang kena demam.

Napas Jason ngos-ngosan ketika ia berusaha mencapai rumah orangtuanya. Kediaman yang luas dan menyenangkan. Di dalam sana hangat pastinya, tapi Jason tak pernah merasa nyaman berada di sana.

"Brengsek, lagi-lagi brengsek...." Jason kembali kelupaan membawa kunci. Pikiran yang sedang 'teler' memang susah diajak berpikir benar. Dengan sisa-sisa tenaga, ia mendorong pintu kecil yang menuju dapur. Pintu itu hanya digunakan untuk membuang sampah. Biasanya dikunci, biasanya tidak. Semoga kali ini tidak dikunci....

Cklek....

Pintu terbuka mudah. Jason yang pucat disambut eongan galak seekor kucing.

"Ahh! Diam kau, Chekia! Kucing penggerutu!"

"Ahh! Diam kau, Chekia! Kucing penggerutu!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jason menuju kamar orangtuanya. Saat ia tiba tadi garasi tertutup rapat, tak ada lampu dari kamar tidur, dan beberapa tanda yang menunjukkan rumah sedang kosong. Semestinya mereka sedang pergi sekarang.

Chekia terus mengekor. Chekia memang kucing menyebalkan tapi ia kesayangan Maman (ibu). Saking disayangnya, kucing itu jadi ngelunjak; sukanya marah-marah, menyenggol-nyenggol barang hingga berjatuhan dari meja -- seandainya kucing itu bisa berdiri, Jason mengira Chekia tentu juga akan mampu melempar bata bila sedang murka.

Tapi Maman tak pernah benar-benar marah. Hanya teguran lembut. "No, no, Chekia sayaang..." Lalu, Maman menggendong Chekia sambil mengelusnya dan menyenandungkan lagu anak-anak.

Jason berhasil mendapatkan yang ia perlukan. Hanya sedikit -- sepertinya orangtuanya mulai tahu ia sering datang diam-diam untuk mencuri. Tapi, tak apa-apa, ketimbang tak ada. Cepat-cepat ia keluar.

Chekia masih terus mengekor dan mengeong penuh emosi. "Diam," balas Jason, "sukanya marah-marah, cepat tua kau nanti."

Di tempat sepi dan remang, Jason menunggu. Tubuhnya masih gemetaran.

Pesannya sudah dibalas. Baru saja ia hendak mengerang kesakitan, ketika sebuah moped berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Seorang pemuda berambut kucing pucat dengan bekas luka hitam di sudut mata --katanya pernah dihajar preman lokal sehingga ia kudu pindah tempat jualan --tersenyum dan berlagak seperti Santa.

"Lukas, kau penyelamatku," lalu Jason merosot menikmati sensasi menyenangkan di kepalanya.

"Tentu saja," Lukas memerhatikan si pemadat langgangannya. Goblok. Mopednya meluncur pergi.

Sayup telinga Jason seperti mendengarkan musik blues dimainkan dengan sangat indah. Begitu indah. Begitu melarat-larat. Begitu penuh penderitaan.

Barangkali kesukaan Jason tak wajar, tapi ia menyukai sebuah keindahan yang sekaligus juga menyakitkan. Sekaligus gelap. Sekaligus....

Sebelum benar-benar ambruk, Jason sempat terpikir untuk mencari uang tambahan. Ah, gadis itu... Michelle, si gadis bar. Sepertinya ia punya banyak uang.

"Banyak uang, biar bahagia. Tak punya banyak uang, akan menderita, hek-hek-hek." Jason mulai terkekeh sembari meracau. "Walaupun cakrawala membentang dari sana keee... siniiih... tapi akuuu... tetap begituuu...." Lalu, ketawanya nyaring sekali.

Jason ambruk dalam penderitaannya yang membahagiakan -- atau, kebahagiaannya yang penuh derita.

_
Sumber gambar: https://geekologie.com/2016/02/angry-cat-grumpy-cats-much-bitterer-olde.php

Rest in BluesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang