Dentingan stainless steel yang beradu pelan dengan piring keramik menjadi latar musik pemecah keheningan di gemerlap malam ketika menginjak pukul delapan lewat tujuh belas menit. Pencahayaan yang kurang maksimal—temaram, menemani kegiatan Park Jimin dan Park Jiyeon menikmati makan malam. Hanya Jimin seorang yang terlihat lahap dalam menyantap makanan yang tersaji di depan.
Namun, berbeda dengan entitas Jiyeon. Sibuk larut dalam lamunan pikiran dan mengabaikan realita yang tengah terjadi. Tidak ada dentingan yang tercipta dari pegangan sendok maupun garpunya. Sepasang obsidian redup itu kosong seraya memandangi makanan tanpa berniat untik di santap.
Pun atensi Jimin tidak dapat berpaling satu menit yang lalu untuk melihat pahatan lesu wajah sang dara. Tidak ada gairah kehidupan di dalam irisnya. Definisi nelangsa, adalah deskripsi yang tepat untuk mengungkapkan keadaan Jiyeon sekarang.
Jimin jadi bertanya-tanya sendiri, berapa banyak kilauan manik Jiyeon yang hilang cuma-cuma? Berapa banyak semangat Jiyeon yang terkuras habis entah kemana? Berapa banyak kesakitan yang Jiyeon rasakan tiada batas? Berapa banyak Jiyeon menahan perih dalam dada ketika merasa tak diadili di dunia?
Jimin mengakui, bahwa Jiyeon adalah manusia yang paling kuat.
"Jimin?"
Suara lembut Jiyeon sejenak membuatnya terlonjak. Mengerjap-ngerjap beberapa kali, sebelum mengulas senyum asimetris dan kembali fokus pada makanan. Terlalu larut dalam lamunan ketika melihat Jiyeon melamun.
"Tidak makan, Ji?"
Jiyeon mengangkat wajah yang semula tertunduk. Mengerjap lembut, lantas ia mengulum bibir tidak nyaman.
"Apa makanan buatan ku tidak enak? Atau kau merasa tidak nyaman berada di sini?" sambung Jimin menukas kembali.
Sontak Jiyeon gelagapan. Pun menggeleng cepat sebagai respons. Tidak. Tidak. Ia sangat nyaman. Nyaman sekali. Inilah yang sedari dulu Jiyeon impikan. Terlepas dari belenggu Taehyung yang mengikat illegal.
"Tidak. Aku suka. Aku nyaman," Jiyeon membalas riang. Lekas menambahkan berbinar, "Terima kasih, Jimin. Aku berhutang budi padamu."
"Kau terlalu cepat berterima kasih," kilah Jimin diiringi kekehan dalam kalimatnya. Meneguk air putih segelas penuh, sebelum menambahi, "Aku belum melakukan apapun untukmu. Jadi, jangan merasa berhutang budi padaku, Ji."
Lantas Jiyeon hanya mengangguk pelan dengan senyuman tipis. Konversasi mereka berjalan dengan kaku. Sejemang Jiyeon merasa tidak nyaman dengan atmosfir yang terasakan. Lekas ia memilih untuk menikmati hidangan. Mengisi perut yang berdemo meminta makan jelas opsi yang paling bagus.
"Taehyung benar-benar keterlaluan."
Suapan Jiyeon terhenti. "Ya?"
Jimin menarik napas panjang sejenak. Tidak langsung menjawab, melainkan ia menelan dua butir pil putih sebelum meneguk kembali air minum.
"Dia sama sekali tidak pernah membuatmu merasa bahagia. Aku tidak percaya ada manusia yang sinting seperti Taehyung masih hidup. Taehyung bisa disebut sebagai manusia purbakala yang ketinggalan zaman."
Tertegun. Tidak. Tidak. Jiyeon tertegun bukan karena kalimat yang Jimin udarakan. Pun bukan karena afeksi pria itu untuknya yang membuat hati Jiyeon menghangat.
![](https://img.wattpad.com/cover/187199180-288-k841822.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisionero [M] ✔
Fanfiction[DIBUKUKAN; Discontinue] [E-BOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Park Jiyeon hanya menginginkan satu harapan yang benar-benar akan membawanya kepada suatu kebebasan mutlak dari cara kerja dunia yang kelewat kejam ini. Maka, diantara ketiga itu, siapa yang l...