part 11

4 1 0
                                    

“Mau apa nih orang. Harusnya kan gue masih sama anak-anak, makan-makan dulu. Nggak tau
apa kalo akting tadi ngeluarin tenaga,” gerutu Andrew dalam hati.
Tingkah Andrew yang kayak anak kecil membuat Andro menatapnya sejenak sambil tersenyum
kecil. Tentunya tanpa sepengetahuan Andrew. Yah... istilahnya curi-curi pandang gitu. Akhirnya
setelah hening beberapa saat, suara Alicia Keys memenuhi ruangan mobil. Antara BT dan
kurang kerjaan, Andrew mulai melepaskan aksesoris yang menempel di tubuhnya.
“Heh, jangan dilepasin dulu!” protes Andro.
“Apaan sih lu...!”
“Pokoknya jangan dilepas. Minimal sampai 2 ½ jam lagi. Please....,” cegah Andro sambil meraih
tangan Andrew yang berusaha melepaskan anting di telinga kanannya.
“Huh......!!!” keluhnya. Andrew pun mengalah sambil cemberut dan lagi-lagi memilih menatap
ke luar jendela.
Hari sudah mulai gelap waktu perjalanan mereka berakhir di dekat sebuah pantai...
“Ndro?”
“Surprise!!! Ini dinner khusus buat seorang puteri,” ucap Andro dengan senang waktu mereka
sampai di tepian pantai. Di tempat itu udah ada sebuah meja dan lilin-lilin yang mengelilingi
mereka. Di atas meja ada lilin dan sepasang gelas, piring,sendok,garpu, serbet. Pokoknya semua
peralatan makan deh...
“Lu kesambet apa, Ndro?” Andrew tampak bingung.
“Udah komentarnya ntar aja. Udah laper kan? Jadi kita makan dulu. Kalo nanti mau berantem
atau debat kan jadi ada tenaganya.
Pelayanan ekstra pun diberikan oleh Andro mulai dari menarikkan bangku untuk Andrew sampai
menuangkan minuman ke gelas. Tentunya semua ituhampir membuat Andrew terbengongbengong. Percaya nggak percaya yang melakukan semua ini adalah Andro.
Kalo biasanya makan bersama mereka diwarnai rebutan makanan dan adu cepat, kali ini
berlangsung lebih formal. Bukan karena efek dari gaya pakaian yang lain dari biasanya, tapi
karena situasinya yang beda.
Andro yang sudah selesai makan lebih dulu menatap Andrew terus menerus sambil menunggu
Andrew selesai makan. Gara-gara itu juga Andrew jadi nggak tenang makan. Biasanya dilitin
kucing yang minta makanan. He... he... he... Akhirnya Andrew pun selesai makan dengan
menyilangkan sendok dan garpunya secara terbalik.
“Udah selesai?”
Andrew mengangguk pelan, menatap Andro dengan perasaan aneh.
“Yuk jalan-jalan dulu ke pantai!”
“Bentar, Ndro,” sela Andrew.
“Gue copot dulu wig-nya. Gatel nih.”
“Eh, jangan! Bentar lagi kok.”
Mau nggak mau Andrew mengikuti Andro dengan terpaksa. Sebenarnya Andrew agak risih
dengan memakai semua kostum plus aksesoris komplit sejak tadi siang. Tapi entah kenapa, dia
tetep nurut aja sampai sekarang. Mungkin karena sikap Andro yang hari ini terlalu berbeda.
Takutnya kalo salah sedikit bisa perang dingin.
“Gimana tadi?” Andro membuka pembicaraan.
“Good! Cuma...”
“Cuma apa?”
“Cuma kurang satu orang. Bokap gue.” Andrew tersenyum hampa.
“Hh.. gue udah tau kalo dia nggak bakal mau datang, tapi gue masih berharap. Lucu juga ya
gue?”
“Emang kenapa Bokap lu nggak dateng?Sibuk kerja?”
Andrew menggeleng berusaha lebih tegar.
“Bukan. Dia nggak bakal mau terima kenyataan.”
Kening Andro mengerut mendengar cerita Andrew yang kemudian tidak diteruskan lagi.
“Kenyataan apa maksud lu?”
“Ah, bukan apa-apa kok. Oh iya, cita-cita lu apa sih? Sampe sebegitu ambisiusnya sama teater?
Reimon sempat cerita lho tentang usaha lu buat ngusahain pentas ini sampai jadi,” alih Andrew
ke pembicaraan lain.
“Arsitek...”
“Arsitek? Sama kayak Bokap gue dong. Tapi apa hubungannya arsitek sama teater?”
Sebelum menjawab pertanyaan Andrew, dia menghentikan langkahnya dan membuka jaket semi
jasnya yang berwarna hitam, lalu dipakaikan ke tubuh Andrew. Angin saat ini memang sedang
berhembus agak kencang, membuat suasana jadi semakin dingin. Namanya juga laut...
“Pertunjukan ini juga salah satu cita-cita terpenting gue sejak SD. Meskipun nggak heboh-heboh
banget, tapi gue senang bisa mewujudkan cita-cita yang satu ini.”
“Sejak SD? Lucu juga ya cita-cita lu waktu SD,” komentar Andrew.
“Yah... ini juga karena lu dulu...”
“Karena gue?!”
“Yup!” Andrew mengangguk kecil.
“Lu masih inget pentas drama waktu kita kecil? Waktu itu kita bersahabat, lebih deket daripada
sekarang. Waktu pemilihan Cinderella, lu nangis di punggung gue gara-gara nggak bisa jadi
Cinderella. Sejak saat itu, salah satu impian gue adalah menjadikan lu sebagai Cinderella
meskipun lu udah pindah sekolah sekalipun,” kenangnya.
“Itu kan dulu, Ndro. Nggak mungkinlah gue bakal nangis lagi gara-gara nggak jadi Cinderella.
Lagian kesannya lu kayak mau ‘pergi’ aja,” gurau Andrew.
“Memang gue bakal pergi....”
Deg!!! Andrew seperti tersentak mendengar jawaban Andro.
“Itu terjadi kalo lu membiarkan gue pergi.”
“ndro, dari tadi lu ngomongnya ngelantur ya?”
Andro menggeleng. “Andrew, sesekali kita harus serius meskipun gue seneng banget bisa
bercanda sama lu. Gue memang bakal pergi kalo lu nolak gue.”
“Menolak apa maksud lu?” Semua membuat Andrew lebih bingung.
“gue sayang sama lu. Itu terjadi sejak delapan tahun lalu. Dan kalo lu memang nggak ada rasa
sama gue, gue bakal balik lagi ke Banjar, soalnya udah nggak ada gunanya lagi gue di sini. Toh
cita-cita gue udah terwujud.”
“....”Andrew nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Entah mengapa,cowok-cowok yang ada di
sekitarnya suka membuat dia kehilangan kata. Untuk kali ini bisa diibaratkan Andrew kena
skakmat.
“Udahlah Ndrew, nggak usah lu pikirin sekarang. Jangan sampai kata-kata gue terasa jadi sangat
rumit dan merusak suasana.”
Setelah percakapan serius itu berakhir, mereka melanjutkan jalan-jalan santai di pinggiran pantai,
menatap bintang-bintang di langit, dan diam tanpa percakapan apalagi candaan. Beberapa saat kemudian, baru Andro memutuskan untuk mengajak pulang karena hari semakin malam dan
udara semakin dingin.
......
Tiba juga mereka di depan rumah Andrew setelah perjalanan mereka diiringi dengan lagu-lagu
cinta.
“Ndro, masalah tadi...,” tutur Andrew waktu Andro menginjak rem mobil tepat di depan rumah
Andrew.
“Tenang aja, lu masih punya waktu tiga hari buat mikirin jawabannya baik-baik. Kalo lu
memang terima gue, cukup ubah diri lu sebagai seorang cewek sejati.”
“Tapi, Ndro....”
“Cuma itu jawaban yang gue tunggu. Nah, sekarang mending lu turun soalnya udah malam.”
Potong Andro halus.
Setelah meminta maaf sama kedua orantua Andrew karena sudah membawa anak orang tanpa
izin, barulah andro pulang dengan mobil yang dibawanya.
Di tengah perjalanan, Andro sempat memikirkan hal aneh yang dirasakannya. Hanya Papa
Andrew yang memanggil anaknya dengan panggilan ‘Andrew’, sedangkan Mamanya tetap
memanggil ‘Alendra’ . ada apa antara Mama dan Papa Andrew ya? Kok mereka nggak
kompak?! Ah... pusing juga mikirin sebabnya. Tapi dibalik kebingungannya itu, rasa bahagia dan
bangga Andro masih dirasakannya. Hari ini mimpinya terwujud dan dia bisa melihat ‘teman
baiknya’ menjadi Cinderella.

Tergapai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang