Langkahku gontai menelusuri selasar pelabuhan menuju Kapal Ekspres Bahari yang akan mengantar kami ke pulau Karimunjawa. Aku mengangsurkan tiket dan KTP dengan sedikit malas pada petugas tiket yang berdiri di pintu masuk pelabuhan.Sementara kulihat binar kebahagiaan menguar dari wajah keduabelas patner kerjaku. Seluruh pojok dan sepanjang selasar pelabuhan menjadi spot untuk mereka berswafoto.
Karimunjawa, sebuah pulau yang berjarak lebih dari seratus kilo meter dari pelabuhan Kartini Jepara. Salah satu kecamatan dengan empat desa yang masuk dalam wilayah pemerintahan Jepara yang menyimpan sejuta keindahannya.
Gugusan pulau-pulau kecil dan empat pulau besar yang mengapung di tengah-tengah laut. Hamparan pasir putih di setiap pantainya, serta keindahan biota laut yang bagai surga bawah laut.
Kenangan-kenangan indah di Karimunjawa lima tahun lalu mulai memenuhi otakku. Tempat Snorkling di dekat pulau Menjangan kecil. Hamparan pasir putih di pulau Cemara Besar yang saking jernihnya kita bisa melihat hewan laut kecil maupun ikan-ikan kecil yang berlarian di air. Pantai Bobby dengan cadasnya yang berderet sepanjang pantai. Pemandangan Sunset yang sangat indah dari puncak bukit Love maupun di pantai Ujung Gelam. Berburu ayam hutan di pulau Gundul. Melihat tempat penangkaran ikan Hiu. Naik perahu Jukung. Ziarah ke makam Syeikh Amir Hasan yang terkenal dengan sebutan Mbah Sunan Nyamplungan dengan sensasi jalan berundak. Ziarah ke makam Sayyid Abdullah bin Abdullatif. Menunggu Sunrise sambil menendangkan puji-pujian ilahiah dari rumah panggung di dekat pantai pulau Kemujan.
"Kuatkan hatiku, ya Allah." batinku.
Terlihat timku tidak henti-hentinya berfoto. Mereka mulai mengambil posisi untuk memperoleh spot video yang paling bagus sebelum kapal melaju, sementara aku berusaha mati-matian menata hati.
Tepat pukul sembilan, kapal mulai bergerak pelan. Sandaran kursiku sedikit kurebahkan, berniat segera tidur. Namun pikiranku mulai kacau.
##Lima tahun lalu.
Kami berdiri di Deck depan kapal saat baling-baling mulai berputar. Sengaja meninggalkan tempat duduk kami untuk menikmati hamparan laut biru.
Moncong kapal memecah ombak laut menyisakan riak putih di sepanjang lambung kapal. Semilir angin laut menambah adem suasana hatiku. Meskipun ada sedikit rasa was was, karena ini adalah pertama kalinya aku naik kapal.
"Kamu yakin tidak mabuk laut?" tanya gus Nadzim sedikit khawatir.
Aku mengangguk sambil terus memandangi pelabuhan yang semakin menjauh.
"Aku tinggal dulu sebentar. Awas, jangan nyemplung." godanya. Aku hanya nyengir padanya.
Mataku tak henti-hentinya menatap takjub ke hamparan laut tak bertepi. Entah sudah berapa lama diriku terpaku menikmatinya.
"Luar biasa, bukan?" Suara gus Nadzim mengarahkan pandanganku padanya. Kedua tangannya memegang gelas berisi kopi panas. Satu snack ringan ukuran besar digamitnya.
Laki-laki yang satu bulan lalu mulai menjadi bagian hidupku tersenyum manis memamerkan deretan gigi putihnya.
Sebenarnya kami sudah saling mengenal cukup lama, sekitar empat tahun yang lalu saat aku mengikuti kegiatan penerimaan anggota baru sebuah organisasi pergerakan mahasiswa di kampus.
Gus Nadzim yang waktu itu sebagai pemateri Wawasan Kebangsaan kuminta untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu, yang disambut tawa seluruh panitia dan peserta. Ternyata dia adalah ketua organisasi yang sudah memperkenalkan diri pada saat membuka acara.
Aku mengikuti seleksi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan terlebih dahulu sehingga tidak mengikuti acara dari awal dan melewatkan momen perkenalan. Saking malunya, kutelangkupkan kedua tanganku menutup seluruh mukaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM
General FictionPerjodohan seorang Gus selalu menjadi kisah klasik dalam percintaan di keluarga Pesantren. Perjodohan itulah yang memisahkan cinta antara Gus Nadzim dan Aricha. Gus Nadzim dan Aricha dipertemukan kembali oleh takdir setelah lima tahun terpisah, dala...