Suara adzan subuh terdengar sangat dekat dari ruang kamarku. Mataku masih lengket, dan kepalaku terasa berat. Semalam tidurku tak nyenyak. Bayangan laki-laki yang duduk di Gazebo bersama beberapa bule dan dua lelaki berblangkon cukup mengusikku.
Kami baru saja memasuki Resort pada pukul sepuluh malam setelah ziarah ke makam Sayyid Abdullah bin Abdullatif dan Syaikh Amir Hasan Sunan Nyamplungan, saat tawa renyah dari Gazebo paling ujung dekat bibir pantai mencuri perhatianku. Suara seraknya yang khas mengingatkanku pada seseorang. Pandangan mataku menumbuk sebuah siluet. Bentuk dan gestur tubuh laki-laki yang tak kulihat jelas wajahnya karena jarak kami yang cukup jauh serta terhalang oleh gelapnya malam itu kembali mengingatkanku pada gus Nadzim.
Aku merutuki diri sendiri. Segala sesuatu yang kutemui selama di Karimunjawa selalu terhubung padanya. Sebait lirik lagu Judika tiba-tiba mengetuk alam bawah sadarku.
Cinta karena cinta
Tak perlu kau tanyakan
Tanpa alasan cinta datang dan bertahta
Cinta karena cinta
Jangan tanyakan mengapa
Tak bisa jelaskan karena hati ini telah bicaraAku bangkit dari tempat tidur dengan malas. Namun tiba-tiba menjadi bersemangat saat sayup-sayup kudengar suara beberapa orang membaca Asmaul Husna. Resort ini cukup berjarak dengan perkampungan. Rasa penasaranku muncul.
Selesai mandi, sholat, dan wirid rutinan aku bergegas keluar kamar, bermaksud mencari sumber suara. Namun suara-suara itu sudah tak terdengar.
Seorang petugas hotel berjalan bergegas melewati depan kamarku, darinya kudapatkan informasi bahwa suara pembacaan Asmaul Husna berasal dari Musholla Resort yang berjarak sekitar limapuluh meter dari kamarku menginap.
"Karyawan di sini jama'ah lima waktu secara bergiliran, supaya tidak mengganggu pelayanan terhadap tamu-tamu Resort. Setiap ba'da Subuh kami membaca Istighotsah dan Asmaul Husna yang dipimpin langsung oleh Bapak." Katanya. Sedetik kemudian ia berlalu.
Kulihat seorang laki-laki dengan pakaian casual keluar dari musholla. Laki-laki itu memandang ke arahku cukup lama, namun jarak yang cukup jauh dan gelapnya fajar menyebabkan jatuhnya bayangan pada bintik kuning mataku tak mampu diterjemahkan otakku. Gestur tubuhnya, kembali mengingatkanku pada satu nama, gus Nadzim.
##
Aku agak tergopoh masuk ke ruang rapat, karena terlambat. Nikmatnya Pindang Srani Tongkol saat sarapan pagi ini membuatku lupa kalau makanan asam dan pedas tidak boleh masuk perutku. Alhasil, penyakit lambungku kambuh.
Rapat belum dimulai saat aku masuk ruangan. Arfan mempersilahkanku duduk di kursi deret depan menghadap peserta rapat. Ada empat kursi dengan satu meja panjang. Tiga kursi telah diduduki Adlina, Zaenal, dan jantungku seakan berhenti berdetak ketika mataku bersirebak dengan seorang lelaki, gus Nadzim.
"Ya Allah. Skenario hidup seperti apalagi yang telah tertuliskan untukku?" Rintihku dalam hati.
Arfan mengenalkanku pada laki-laki yang di masa lalu sangat kukenal, sekaligus pemilik Resort yang akan kami pakai untuk penyelenggaraan resepsi pernikahan klienku.
"Perkenalkan mbak, ini pak Nadzim."
Mataku berkunang-kunang. Semua rasa berdesakan di dada. Aku menarik nafas sangat dalam, sangat pelan supaya perubahan ekspresiku tak sempat ditangkap siapapun. Kupejamkan mata cukup lama untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kekuatan. Kusambut uluran tangan kekar itu.
"Aricha." Kataku dengan senyum yang kupaksakan. Menahan bulir bening supaya tak jatuh dari kelopak mataku.
Gus Nadzim tersenyum manis. Sebuah senyuman yang tak pernah kabur dari ingatanku. Kenangan-kenangan bersama gus Nadzim yang sudah kukubur di bawah alam sadarku satu per satu mencuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM
General FictionPerjodohan seorang Gus selalu menjadi kisah klasik dalam percintaan di keluarga Pesantren. Perjodohan itulah yang memisahkan cinta antara Gus Nadzim dan Aricha. Gus Nadzim dan Aricha dipertemukan kembali oleh takdir setelah lima tahun terpisah, dala...