Tatapan gus Nadzim yang penuh selidik membuatku urung mengusap layar ponselku untuk menerima panggilan.
"Diterima saja." Kata gus Nadzim. Aku menjadi tidak enak hati.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Halo Chacha." Kata suara riang dari seberang.
Hanya ada satu orang yang memanggilku Chacha, yaitu Yasser Syathibi. Suaranya tambah renyah begitu kusambut sapaannya.
"Aku kangen Indonesia. Di sini sepi, tidak ada celotehmu. Tidak ada yang ngomel-ngomel kalau aku menunda Sholat. Tidak ada yang marah-marah kalau aku tidak ikut Jumatan. Tidak ada yang menyuruhku puasa aneh-aneh."
Puasa aneh-aneh yang dimaksud itu puasa-puasa sunnah selain puasa senin kamis. Aku tersenyum.
"Aku akan segera balik ke Indonesia. Aku akan melamarmu, membawamu ke sini, dan beranak pinak supaya aku tidak kesepian lagi."
Yasser masih mengoceh, namun aku sudah tidak konsen mendengarnya. Kulihat gus Nadzim mulai jengah. Beberapa kali ia menarik nafas berat dan membuang pandangannya.
Volume ponselku tadi sengaja kubesarkan karena kumasukkan dalam tas, khawatir tidak mendengar jika ada panggilan telpon karena di sekitar masjid dan menara ramai rombongan peziarah. Sehingga suara Yasser cukup jelas terdengar oleh gus Nadzim.
"Maaf, aku masih di kompleks Menara. Besok aku telpon lagi ya?" Kataku menyudahi telpon Yasser.
"Oke. Besok aku VC ya. Sekalian melepas kangen. Lama tidak melihat wajahmu. Apa kamu tidak kangen aku?"
Aku hanya tersenyum kecut. Sementara gus Nadzim sudah melangkah meninggalkan Menara menuju tempat mobilku di parkir. Aku berlari kecil mengejar langkahnya yang panjang-panjang.
"Tidak jadi cari martabak telor mini, gus?" Tanyaku setelah kusudahi panggilan Yasser dan kumasukkan kembali ponselku kedalam tas.
Biasanya dulu setelah ziarah, kami membeli martabak telur mini, kemudian kubawa ke warung sate kebo langganan gus Nadzim yang berada di samping penjual martabak telor mini. Sementara gus Nadzim makan sate kebo, aku makan martabak telor mini. Karena aku tidak suka sate kebo. Aroma ketumbar dan rasa manisnya kurang cocok dengan lidahku.
"Sudah tidak minat. Kita langsung ke hotel saja." Katanya dengan ketus.
Aku tidak tahu perubahan moodnya yang tiba-tiba. Apakah karena telpon dari Yasser tadi atau karena ada sasuatu yang lain?
Sepanjang perjalanan dari Menara tak ada yang kami bicarakan. Tanganku meraih remote tape recorder, bermaksud membunuh sepi dengan mendengarkan lagu-lagu dari channel radio FM. Begitu tombol on kutekan, suara Ariel sudah menggema. Buru-buru tangan kiri gus Nadzim menepis tanganku saat aku akan merubah channel.
"Ini saja." Katanya dingin.
Menepilah sejenak, kekasihku
Berikan ruang untuk rindu
Sehingga reda deru ragumu
'Kan kupeluk hatimu
Tak pernah terbayang 'kan tiba
Lelah membuat kita lupa
Apa yang pernah kita jaga
Tak berarti akhirnya
Menepilah sejenak, kekasihku
Berikan ruang untuk rindu
Sehingga reda deru ragumu
'Kan kupeluk hatimuIa ikut mengalunkan lirik lagu itu. Lirih suaranya menyimpan luka. Ekspresinya sungguh membuatku tersayat.
##
Pukul enam pagi aku yang diantar pak Gatot sudah sampai di hotel tempat gus Nadzim semalam menginap. Begitu aku turun dari mobil, ia melambaikan tangan dari tempatnya sarapan. Ia mengambil tempat duduk di kursi resto yang berada di teras hotel.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENJEMPUT CINTA DI UJUNG GELAM
General FictionPerjodohan seorang Gus selalu menjadi kisah klasik dalam percintaan di keluarga Pesantren. Perjodohan itulah yang memisahkan cinta antara Gus Nadzim dan Aricha. Gus Nadzim dan Aricha dipertemukan kembali oleh takdir setelah lima tahun terpisah, dala...