Hari ini adalah tes penjurusan, jujur saja, aku waktu daftar menandai kolom IPA, dengan maksud, ingin mencoba sampai dimana tingkat kebodohanku. Memang bodoh, itu sudah menunjukkan bahwa aku bodoh. Sejak SMP aku sudah mantap ingin masuk ke kelas IPS, tapi entah waktu itu aku mungkin frustasi karena masuk dengan rangking dua dari bawah.
Usai mengerjakan psikotes, tiba saatnya untuk istirahat. Saat yang lain sudah berbondong-bondong keluar kelas, aku masih duduk manis di bangkuku, berdoa, semoga hasilnya IPS, aneh kan?
Saat mengerjakan tes, aku merasa biasa saja, aku cuma kesulitan di bagian numerik, yah aku tidak suka pelajaran yang menyangkut hitungan.
" No, nggak istirahat? " ucap Keisha yang membangunkanku dari lamunanku.
" Oh iya, bentar ah, masih capek abis mikir hahaha. "
" Ah, tes gitu doang ngapain dipikir sih No, santai aja kali, emangnya kamu pengen masuk IPA atau IPS? "
" Kemarin aku nyentang IPA sih, tapi sebenernya iseng doang, sebenernya pengen di IPS, makanya sekarang takut kalo tes nya nunjukkin aku masuk IPA, hehehe. "
" Ah kamu ini ada-ada aja sih No, tapi setauku sih kalo masuk ke jurusan mana aja, masih bisa maksa buat pindah kok. Santai aja, ntar kalo masuk IPA tinggal minta ganti ke IPS. "
" Gitu ya? Tau darimana? "
" Kemarin mamaku tanya ke salah satu guru, katanya masih bisa pindah jurusan, tapi ya kalo itu masih ada bangku, kalo udah full ya ga bisa. "
" Oh gitu ya, waduh medeni. Makasih ya infonya. " ucapku penuh pasrah.
" Yauda deh, aku shalat dulu ya, Kei, kamu nggak istirahat? " ucapku ke Keisha, dia beragama Protestan, jadi tidak mungkin untuk melaksanakan shalat.
" Iya, ini mau ke kantin, bareng yuk? "
" Barengnya sampe tangga aja ya? Aku mau nyamperin saudaraku. "
" Okee "
Dengan sigap kami meninggalkan kelas, Keisha yang lapar menuju ke kantin, aku yang gelisah, menjemput adikku lalu pergi ke musholla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Highschool Reality : When the Journey Begin
Teen FictionCerita singkat mengenai indahnya masa SMA yang bukan cinta melulu