I

27 20 6
                                    

Mereka bilang, aku salah pilih. Mereka bilang, aku seharusnya tidak di sini. Mereka bilang, sebaiknya nilai yang ku peroleh diberikan kepada mereka—semuanya berpendapat bahwa pilihan ku bukanlah pilihan yang terbaik.

 Memang mereka itu siapa? Hanya sekumpulan orang-orang yang hanya bisa berpendapat. Toh, inilah solusi yang diberikan Yang Maha Esa kepada ku. Lebih baik seperti ini, daripada aku menghentikan jenjang pendidikan ku sampai SMP.

 Ngomongin apa, sih?

 Masa iya, kita belajar selama tiga tahun di SMP, tetapi yang menentukan kelulusan hanya nilai yang didapat selama tiga hari. Jadi, jerih payah dan segala usaha untuk mengisi hari-hari sekolah itu untuk apa? Mending kalau kita, muda-mudi, stabil terus—tapi, kenyataannya? Kita sering terhambat oleh mood swings.

 Ah, sudahlah. Yang berlalu, biarlah berlalu. Rasa sesal itu akan selalu terbayang dalam benak ku, tapi kini saatnya kita fokus ke masa depan yang lebih baik.

 Derap langkah hak dari sepatu botnya menggema ke seluruh penjuru sekolah dengan bangunan kecil tersebut. Awalnya, aku kira perjalanan ku menuju kelas yang dimaksud oleh guru piket akan memakan waktu yang lama. Betapa salahnya aku.

 Aku berhenti di anak tangga terakhir dan melempar pandangan ku ke samping. Benar saja, semua mata tertuju pada ku. Para senior berbaju putih polos menatapku heran dan kaget.

 "Eh, sini, masuk," akhirnya salah seorang dari mereka angkat bicara.

 Ajakannya membangunkan ku dari lamunan. Dengan sebuah anggukan dan senyuman malu, perlahan mungkin ku berjalan menuju ruangan tersebut. Aku menghela nafas dan mengucap bismillah, lalu membungkukkan badan sembari memijakkan kaki ke dalam ruang kelas.

 "Permisi," aku mengangkat kepala ku. Seluruh mata kembali tertuju pada ku. Ruangan yang semula ricuh menjadi sunyi. "Assalamualaikum," pandangan ku lempar ke seluruh ruangan, mengharapkan bantuan dari siapapun.

 "Iya, kamu yang baru dateng, silakan duduk," perintah salah seorang dari mereka.

 Tubuh ku secara otomatis membungkuk sebelum menoleh ke sana-ke mari untuk mencari tempat duduk yang kosong. Salah satu senior yang semula menduduki sebuah kursi tertawa kecil dan tersenyum, kemudian bangkit dan menawarkan kursi tersebut kepada ku. Seulas senyuman tersungging di bibir ku, membungkuk lalu menerima tawarannya.

 Seorang wanita berhijab berdiri tegap di depan kelas. Matanya tajam, menelusuri seluruh ruangan kelas. "Oke, assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh," seisi ruangan menjawab salamnya. "Kalian udah kenal sama kakak-kakak di depan, belom?"

 Ruangan kembali riuh; masing-masing menjawab pertanyaan sang senior—kecuali aku. Jangankan kenal, aku saja mendapat informasi untuk masuk pada hari Sabtu ini secara mendadak.

 "Udah, udah," sang wanita menghela nafas kesal. "Kan, kalian banyak yang udah kenal kita. Tapi, kita belom kenal kalian, nih... Coba, kita kenalan dulu, dimulai dari..."

 Aku yang baru saja menenangkan diri kembali dikejutkan oleh pandangan sang wanita.

 "Kamu, ayo maju."

 Aku tertegun sesaat. Sesaat kemudian, aku bangkit dari kursi dan berjalan ke depan. Seulas senyuman menghiasi wajahku saat ku pandang wajah-wajah orang asing di hadapan ku.

 "Nama kamu siapa, panggilan, trus dari sekolah mana?"

 Aku mengangguk; "Assalamualaikum," seisi ruangan seraya menjawab salam ku. "Nama saya Nashwa Baswedan, panggil aja Wawa. Aku dari SMP Negeri 254 Jakarta."

 Karena tidak nyaman dengan tatapan 'teman-teman' ku, aku menoleh ke arah para senior. Beberapa dari mereka berbisik, sebelum akhirnya membiarkan diriku untuk duduk kembali di kursi ku.

 Lega, aku kembali duduk dengan adrenalin yang berpacu. Lelaki yang duduk di samping ku kemudian bangkit dan berjalan ke depan kelas.

 "Eh... Assalamualaikum," nadanya ragu, namun tetap dijawab oleh murid yang lain. "Nama saya Ghildan Harits, dan..." kalimatnya tersengal. Entah mengapa, aku tidak memperhatikan, tapi seisi ruangan dibuat heboh dengan gelak tawa oleh si Ambon.

 Tawa kecil terlepas dari bibir ku. Aku tidak begitu memperhatikan perkenalan tiap orang—toh, nanti aku juga akan hafal dengan sendirinya. Setelah semuanya maju, para senior kembali menghadap kita.

 "Oke, sekarang kalian buat kelompok sama mentor kalian yang kemarin," ucap wanita sebelumnya.

 Mereka semua berhamburan, suasana kelas menjadi kacau-balau. Tiap murid segera menemukan mentor mereka.

 Semua kecuali aku.

 "Eh, kamu masuk kelompok aku aja," ajak seorang wanita bertubuh gempal. Auranya hangat, namun aku merasa dia mencoba memberi jarak antara kita.

 Namun, aku tidak menolak. Aku hanya duduk dan mendorong kursi ku maju mendekati dia. Si Ambon dan beberapa murid lain ikut mengelilingi sang wanita. Perasaan tidak nyaman menyelimuti benakku, seakan lingkup ini tidak menerima ku.

 "Eh, Icha," sahut seorang lelaki berkulit hitam manis. "Kayanya yang ini ikut kelompok Saffana aja, deh. Soalnya, lu kelebihan orang."

 "Oh, ya udah," wanita tersebut menoleh kembali kepada ku. "Kamu ikut kelompok kak Saffana aja, ya. Tu, yang ada di luar."

 Kaget bercampur panik sesaat menyerang ku. Aku mengangguk, tersenyum kecil dan bangkit dari kursi menuju luar kelas. Suara sepatu bot yang ku pakai tenggelam dalam ricuhnya kelas saat itu.

 Udara segar menerpa wajah ku. Pandangan ku lempar ke seluruh arah, mencari keberadaan kelompok ku.

 "Eh, kamu!"

 Aku mendapati seorang wanita yang tengah di kelilingi oleh beberapa orang di akhir lorong. Perlahan, ku berjalan menuju mereka. Senyumannya hangat, begitu juga dengan auranya yang terbuka. Itu sudah cukup untuk membuat ku duduk dan tersenyum kepada mereka.

  "Tadi kamu keren banget, loh," ucap wanita berkacamata itu. "Kamu kaya orang Korea, gitu. Masuk kelas, bungkuk."

 Seorang perempuan di samping ku menirukan gaya ku, diikuti oleh si wanita berkacamata—yang tak lain adalah mentor dari grup kami.

 "Oke, jadi begini..."

SCANDALOUS? NEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang