Ada tiga hal yang baru ku sadari; satu, Agoy adalah warkop; dua, warkop dan warteg memiliki makna yang beda; dan tiga, lelaki yang menjemput ku tadi lebih terkenal dari yang ku bayangkan.
Sesampainya di Agoy, kedatangan kami disambut oleh seorang kakak kelas 12.
"Gila si Odi! Pulang pergi bawa cewek lagi lu!"
"Yoyoy!"
Setelah berterima kasih, aku berjalan menjauhi kerumunan kakak kelas dan bergabung bersama angkatan ku. Percakapan mereka ku hiraukan, bukan apa, tapi aku tidak mengerti sebagian besar bahasa yang mereka gunakan. Maklum, aku anak rumahan yang kurang pergaulan.
"Lu berangkat bareng siapa?" tanya seorang gadis angkatan ku—Suci, kalau tidak salah.
"Ngga tau. Liat aja," ku jawab dengan seulas senyuman.
Waktu berselang, matahari kian meninggi di angkasa. Beberapa orang sudah mengambil headstart menuju Pondok Rajeg. Sedangkan yang lain, mengutamakan solidaritas, atau mungkin karena tidak ada tumpangan, menunggu di Agoy.
"Eh, tadi mana yang ngga ada boncengan?" tanya kakak kelas yang menjemput ku tadi. Ia dengan mudah menemui ku di tengah kerumunan. "Kamu bareng kak Keke aja."
Aku hanya mengangguk, menghampiri keduanya. Di hadapan kakak kelas berbaju loreng, aku memberi seulas senyuman dan membungkukkan badan untuk berterima kasih. Lalu ku berpaling, menghadap kak Keke yang sedari tadi menunggu di motornya.
"Ayo, naik," ucap kak Keke dari balik kaca helmnya.
Perlahan, ku menaiki motornya, menjaga jarak antara tubuh kak Keke dan diriku sendiri. Siapapun orangnya, apapun jenis kelaminnya, sudah merupakan kebiasaan bagi ku untuk menghindari kontak fisik. Bukan hanya pada orang asing saja, kontak fisik dengan keluarga saja jarang.
Perlahan, semua penduduk Agoy memulai perjalanan mereka menuju Pondok Rajeg. Begitu juga kak Keke yang berada di tengah-tengah konvoi besar itu.
"Nih, nanti rekamin, ya," ucapan kak Keke menyadarkan ku dari lamunan. Sambil mengendarai motor, ia memberikan ku HP-nya.
"I-Iya," bisik ku, mengambil HP kak Keke. Selain kontak fisik, aku juga sedikit bermasalah perihal bersosialisasi. Bahasa yang ku gunakan formal dan lugas, namun kelemahan ku satu; tidak bisa menyesuaikan kata-kata dengan situasi dan pergaulan. Singkatnya, aku orang yang kaku.
"Ehm," aku menepuk lemah pundak kak Keke. "Gimana ya, kak?"
Dengan berhati-hati, kak Keke mengambil kembali HP-nya. Ia merekam jalan selama sekian detik, sebelum memberikan HP-nya kepada ku lagi.
Perasaan ku campur aduk; rasa tidak enak dan tidak berguna. Apa kak Keke kesal? Apa aku beban menjadi tumpangannya?
"Kak, kita mau ke mana, sih?" tanya ku, mencari topik.
"Kita ke makam almarhum bapaknya kak Eja dulu. Abis itu, baru ke Pondok Rajeg," jawab kak Keke singkat.
Otakku berpikir, mencari topik lain untuk menghilangkan sunyi. Tetapi, sebelum bisa bertanya lagi, kami memasuki sebuah gang kecil di tengah kebun pisang.
Tak lama kemudian, kak Keke mematikan motornya sembari memarkirkan motornya. "Kita udah sampe," ucapnya, berdiri di sebelah motor.
Aku mengembalikan HP kak Keke, lalu turun dari motor. Kapan terakhir aku mengunjungi makam ini? Kelihatannya semakin bersih dibanding pertama kali aku berkunjung.
Murid tiga angkatan yang hadir berkumpul, berjalan menuju makam almarhum. Aku hanya membuntuti dari belakang, mengikuti instruksi doa dari kak Eja sendiri.
Kita tidak berlama-lama. Hari pun menjelang siang, dan kita berusaha untuk sampai Pondok Rajeg secepatnya. Aku kembali ke parkiran, tempat di mana kak Keke memarkirkan motornya.
"Eh, kamu boncengan sama kak Odi aja, ya," kak Keke menunjuk ke arah lelaki berbaju loreng.
Kak Odi? Nama asli dia Naufal, kan?
Lah, mana gua tau. Gua cuma nulis.
Oh, iya.
Aku hanya membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih kepada kak Keke. Perlahan, aku berjalan menuju lelaki berbaju loreng yang tengah menunggu dengan dua orang lainnya; kak Ana dan kak Eja. Perbincangan mereka berhenti ketika melihat ku.
Kak Ana dan kak Eja pergi menuju kendaraannya masing-masing—dan, kelihatannya, kak Ana sekarang diboncengi oleh kak Keke. Yang tersisa hanya aku dan kak Odi, yang sibuk menyalakan motornya sendiri.
"Ayo, naik," ucap kak Odi setelah memutar motornya menghadap jalan raya.
Seulas senyuman menghiasi wajahku, berbagai macam topik sudah ku pikirkan. Kalau tidak salah, kak Naufal ini tetanggaku, orang tuanya juga mengenal baik orang tuaku. Tapi, ya, biasanya aku memang lebih nyambung kalau berbicara dengan laki-laki. Banyak topik yang mereka mengerti.
"Lu tadinya sekolah di mana?" pertanyaan kak Odi membangunkan ku dari lamunan. Tanpa sadar, kita sudah berada di jalan raya.
"Di SMP Negeri 254 Jakarta," jawab ku singkat.
"Oh, orang Jakarta?" pandangan kak Odi fokus ke jalan raya.
"Iya," aku menyeringai. "Lho kan, kita tetangga, kak!"
"Tetangga?" matanya melirik ke arahku dari spion. "Lu orang Mangga juga?"
"Iya, kak!"
"Lah, kok gua ngga pernah ngeliat lu," sekarang dia pun tersenyum. "Mangga mananya lu? Sebelom atau sesudah 26?"
Apaan?
Aku terdiam, bingung. "Ehm... Kurang tau deh, kak."
"Kalo gua Mangga sebelom 26."
Percakapan kita hampir saja berhenti di situ. Tapi, untuk saat itu saja, perasaan ku nyaman dan terbuka.
"Kakak juga wibu, kan?"
Senyum kak Odi terlihat melebar, dia menahan tawa. "Ya, gua suka anime. Tapi, ngga ampe bau bawang juga."
"Kata kak Ana kakak wibu."
"Dih! Apa-apaan. Dia sendiri wibu. Wibu di kelas gua mah ada, si Ahlan."
"Tapi, kakak tau Boku No Pico, kan?"
Entah mengapa, di situ kak Odi tidak bisa menahan tawa. Ia tertawa lepas, sesekali menatap ku dari spion.
"Yah, lu kalo masalah gitu, jangan ditanya lagi."
Dibanding bersama kak Keke, rasanya aku lebih nyaman berbicara dengan kak Odi. Mungkin, karena aku pun terbiasa bergaul dengan laki-laki dibanding perempuan. Atau, mungkin karena bahasanya yang santai? senyumannya yang hangat? Auranya yang welcoming?
Baru juga kenalan lu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCANDALOUS? NEVER
Novela Juvenil❝ YOU CALL IT A SCANDAL , WE CALL IT TRUE LOVE . ❞ Setelah sekian lama dihadapi dengan ucapan, hujatan, dan sindiran yang sama, aku memutuskan untuk menerima semua sebagai masukan. Mungkin, aku tidak sempurna; dia tidak sempurna; begitu pula denga...