II

25 15 3
                                    

"Apaan, sih? Bukan begitu!"

 Aku menghela nafas. Aku kira membuat sebuah iklan layanan masyarakat yang pendek tidak se-susah ini. Nyatanya, semua yang direncanakan oleh kami mendapat kritikan dari mentor kami.

 "Lu diem aja di sana!" sahut si gadis.

 Aku mulai muak berhadapan dengan Anisa, yang merupakan talent kami untuk hari itu. Bukannya tidak mengerti, sutradaranya saja memberi ku kebebasan sebagai camera person. Masa iya, karena permintaan talent campers harus mengalah?

 Kak Ana, mentor kami, ikut menghela nafas, lelah dengan perdebatan kecil kelompok kami. Ia memilih berbicara dengan sutradara kami, Dio. Walaupun jabatannya tertinggi di lapangan, dia masih kurang mahir mengendalikan suasana lapangan.

 Seorang pria melintasi lokasi shooting kami. Ia melirik, menatap heran kelompok kami yang diam. "Kalian udahan?" pertanyaannya memecah sunyi.

 Ini kesempatan ku.

 "Ini, kak!" aku melangkah mendekatinya. Jemari ku mengetuk layar HP sembari menunjukkan kepadanya. "Saya tadi ngambil gambarnya begini. Bener ngga, sih?"

 Suasana kembali sunyi—diselingi oleh suara kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya. Kak Arif menatap fokus shot dari setiap scene yang ku ambil. "Bagus," dianggukkan kepalanya. "Harusnya kamu ngambilnya dari depan."

 Pandangan ku lempar ke Anisa, raut wajah ku berubah seketika. "Tuh, gua udah bener tadi, dari depan!"

 Sebelum Anisa bisa menimpali, kak Arif menghela nafas dan menepuk pundak ku. "Udah," ucapnya. "Kalo udah selesai, kasih tau gua aja," dan dengan ucapan itu, ia berjalan menjauhi kelompok kami.

 "Ya udah, begini aja," suara Dio memecah lamunan ku. Kembali kita ke sesi shooting, yang anehnya berjalan lancar tanpa pertengkaran apapun.

. . .

 Setelah shooting, kelompok kami berhamburan dalam sekejap mata. Dio menghampiriku, "Wa, lu tunjukkin ke kak Arif sana," pintanya sebelum berjalan menuju panggung.

 Itung-itung modus sama kak Arif, aku terkekeh. Ya, mungkin, kak Arif sudah jauh lebih tua daripada ku—bahkan ia salah satu staff sekolah kita. But, a girl can dream, right?

 Aku berjalan menuju kak Arif. Tampaknya, dia dan seorang pria lainnya sedang membantu proses shooting kelompok lain. "Kak Arif...?"

 Kak Arif menoleh, masih dengan ekspresinya yang datar itu. "Kenapa?"

 "Bisa tolong dicek ngga, kak?" tangan ku bergerak, menunjukkan tiap scene yang telah ku ambil.

 Sebuah helaan nafas, diikuti tawa kecil dari pria di samping kak Arif. "Ya udah, begitu aja. Tinggal di-edit."

 Sudut bibirku terangkat, menunjukkan seulas senyuman. "Terima kasih, kak!" setelah membungkuk, aku berjalan menuju panggung untuk menemui kelompok ku.

 Kelompok ku terlihat lelah, atau mungkin pasrah kala itu. Lagipula, itu karya pertama kita di sekolah ini, wajar kalau masih banyak kesalahan—mungkin, itu yang mereka pikirkan saat itu. Setidaknya, kita sudah mencoba yang terbaik.

 "Rifky, tinggal diedit, nih," ku memperlihatkan mentahan dari iklan kami kepada si editor. Jujur, aku kurang percaya padanya. Rifky terlihat seperti orang yang acuh dan hanya mementingkan kesenangan. Apa iya, dia bisa?

 "Lu ada Kinemaster, ngga?" ia bertanya, namun pandangannya tetap pada layar HP miliknya. "Kalo ngga, kirim aja ke HP gua dah."

. . .

 Dalam hiruk-pikuk kesulitan para murid yang memasang tenda, terdengar suara benda jatuh yang cukup kencang. Seisi lapangan pecah dengan gelak tawa. Aku yang sedari tadi mencoba menghubungkan pipa untuk tenda hanya bisa bertanya kepada yang lain.

 "Ah, si Odi. Niatnya caper, malah malu," ucap seorang gadis.

 Namanya tidak terdengar familiar. Aku mengacuhkan mereka, kembali menyibukkan diri dengan tenda untuk para siswi. Dibandingkan yang lain, tenda kami terlihat lebih lebar. Semoga saja muat untuk 8 siswi.

 "Eh, PT-PT," sahut Angel dari dalam tenda. "Buat beli makanan per kelompok," tambahnya sembari menengadahkan tangannya.

 Ada-ada saja, aku memberi seulas senyuman, lalu mengambil sisa uang dalam saku baju pramuka ku. Angel dan Anisa menambahkan uang mereka, lalu Angel bergegas menuju ruang OSIS, di mana ada sebuah stand kecil penuh dengan mentahan lauk dan sayur.

 Di saat semuany sedang lengah, perlahan ku keluarkan beberapa snack dari tas ku. Aku mengendap keluar, menemui kak Ana, kak Icha, dan kak Rafly sedang beristirahat.

 "Kakak?"

 Mereka serentak berhenti berbincang. "Iya, kenapa?" tanya kak Ana, selaku mentor ku.

 "Ini, aku cuma ada sedikit. Makannya dibagi-bagi, ya," tangan ku menyodorkan snack ke tangan kak Ana.

 Raut wajah mereka berubah, terutama kak Icha yang tersenyum lebar. "Eh, serius nih?!" kak Ana menyeringai. "Makasih banget, ya!"

 Aku hanya bisa tersenyum, membungkukkan badan lalu kembali masuk ke dalam tenda ku. Buku dan pulpen yang sedari tadi ku bawa, ku letakkan di pangkuan. Senyuman mereka menginspirasi sebuah pantun untuk malam performance.

. . .

 Selama proses memasak, kami dibantu oleh beberapa kakak kelas. Salah satunya kak Ahlan, yang membantu kita membuat sambal. Ada juga kak Ana, mentor kami yang senantiasa ada untuk kami. Adapula kesalahan yang terjadi saat kami memasak, adalah bumbu yang kami gunakan.

 "Masa buat sayur asem pake bumbu sayur lodeh," ucap Dio heran. "Gimana ceritanya, coba?" ucapannya diikuti tawa kelompok kami beserta kelompok lain yang melintasi basecamp kami.

 "Eh, kalian udah siap buat tampil malem ini, kan?" tanya kak Ana, memastikan.

 "Tinggal ngapalin lirik, kak," lagi-lagi Dio menjadi jurubicara kelompok kami. Itu tugasnya seorang ketua kelompok, kan?

 Kak Ana hanya menganggukkan kepala dan tersenyum lebar. "Sukses buat kalian, ya!"

 Entah mengapa, kata-kata itu cukup memotivasi diri ku.

SCANDALOUS? NEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang