Memutuskan untuk bekerja di kota orang membuatku harus rela pulang pergi untuk mengadu rindu padanya. Hubungan jarak jauh yang aku lalui ternyata tidak begitu selamanya mulus. Berbekal libur yang hanya kudapat selama 2 hari, aku mengunjungi tempat dimana kekasihku berada. Yah, sesuatu hal yang belum pernah aku lakukan selama kami menjalani hubungan ini.
Pekerjaan yang menuntutku untuk selalu stand by dan super sibuk membuatnya lelah. Mungkin? Hal bagus bagiku menemuinya yang sedang bercumbu panas dengan kekasih lain. Suatu kesialan? Bukan. Menurutku itu adalah hal yang patut ku apresiasi. Dengan begitu, aku tidak repot-repot untuk mengurusnya dengan rasa cemburu kan?
Saat itu juga, semua impianku yang telah kubangun sendiri bersamanya hancur. Huh? Salahku membangun impianku dengan anganku sendiri tanpa melihat kenyataan. Tanpa berbasa-basi lagi aku mengumpati mereka berdua dengan kata-kata kotor dan...ah, sial. Bukan perasaan sedih, namun perasaan kesal, marah, kecewa yang kurasakan. Bajingan itu (kekasihnya yang baru, sekarang) adalah teman semasa kuliahku sendiri.
Aku terkekeh sambil melihat tiket kereta yang baru saja ku cetak. Kemudian aku membandingkannya dengan tiket kereta yang beberapa jam lalu aku cetak di daerah tempat kerjaku. Disana tertera jadwal keberangkatan dan tujuan yang hanya berbeda 15 menit. Sialan! Sialan! Sialan! Hanya butuh waktu 15 menit untuk memutuskan hubunganku dengannya yang sudah berjalan selama 5 tahun.
Keparat!
Si bangsat--
"Permisi?"
Apalagi sekarang?
Aku melihat sebuah sepatu balet yang tidak seperti sepatu balet yang jaraknya tak jauh dari sepatu converse buluk milikku. Dengan segan aku mengangkat kepala kemudian menatap wanita yang langsung mengerjap kemudian mengulum bibirnya lalu mengalihkan pandangannya dariku.
Heh? Takut melihat wajah kesal ku?
"Apa?" tanyaku berusaha tidak galak, tapi...
...wanita itu terlihat tersentak setelah mendengar suaraku. Aku menyipitkan mata saat wanita itu tak kunjung berbicara. Dia justru terlihat seperti sedang menahan pipis dengan kedua kaki jenjangnya yang saling berbelit. Oh, Januar Wonwoo Genandra, berhenti mengejek wanita mulai saat ini!
"Uhm, i-itu, aku butuh tempat u-untuk duduk."
Aku melihat sekeliling ruang tunggu stasiun yang...tidak penuh? Aku mengernyit tidak mengerti kembali menatapnya dengan pandangan terganggu. Dia terlihat bingung dengan situasi ini. Aku bersidekap dan menatapnya dengan tatapan menantang.
Mau bilang apa kau?
"Hanya tempat ini yang dekat dengan charger counter." ujarnya cepat berusaha membutaku memikirkan hal negatif padanya.
Aku diam sejenak memeperhatikannya yang menungguku untuk menyuruhnya duduk disampingku. Aku terkekeh melihatnya yang gugup. Dia terlihat tidak nyaman dengan semua itu. Segera saja, aku menunjuk tempat duduk di sampingku dengan daguku. Dengan gerakan cepatnya, dia langsung menaruh tas beratnya di samping tempat duduk kemudian mengeluarkan kabel pengisi daya dan mencolokkannya ke ponsel.
Aku memperhatikan itu semua. Melihat bagaimana senyumnya yang mengembang setelah melihat ponselnya kembali hidup, membuat bibirku ikut tersenyum. Dilihat dari samping, dia terlihat cukup menarik. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Malu sekali jika dia memergoki diriku sedang menatap intens kearahnya.
Ting!
Sebuah pesan masuk dari ponselku. Aku merogoh saku kemudian menatap pesan dari wanitaku dulu.
Januar, kamu dimana?
Tanpa sadar aku berdecih keras. Sambil menahan amarah yang mulai menguasai lagi, aku menggenggam erat ponselku kemudian menekan tombol power lama untuk me-nonaktifkan sistem kemudian menyimpannya secara kasar ke dalam kantong celana tentara milikku sambil mengumpat dan menatap sekeliling stasiun. Tetapi, lagi-lagi pandanganku bertemu dengan matanya yang jernih.
KAMU SEDANG MEMBACA
train to your heart? ; Wonwoo [✓]
General Fictionpulang dan pergi. aku selalu menggunakan kereta yang sama, tempat duduk yang sama di dalam ruang tunggu stasiun, namun dengan tujuan hati yang berbeda. terasa sakit, namun bahagia disaat bersamaan. "Dokter, kau membuatku terlihat masokis." -Januar...