BAGIAN 2

1K 39 0
                                    

Ayam jantan berkokok saling bersahutan menyambut datangnya sang mentari pagi. Desa Kiambang yang semalam lelap terselimut kabut, mulai bangkit dan hidup kembali. Di depan rumah Ki Biran, terlihat Rangga sibuk membelah kayu bakar. Sejak Rangga tinggal di pondok kecil itu, persediaan kayu bakar Ki Biran tidak pernah kurang, bahkan sepetak ladang di belakang rumah sudah dicangkuli, dan ditanami tanaman palawija.
"Kang Rangga! Istirahatlah dulu...!" terdengar suara kecil dari arah belakang.
Rangga menoleh, tampak Seruni menghampiri sambil membawa kendi dan sepiring pisang goreng. Rangga menerimanya dengan bibir tersungging senyuman. Dia mengambil satu dan minum air langsung dari dalam kendi tanah liat itu. Seruni tampak tersenyum senang.
"Kau yang buat sendiri pisang goreng ini, Seruni?" tanya Rangga.
"Habis, siapa lagi? Setiap hari aku yang masak, mencuci, dan membersihkan rumah," Seruni menyombong.
"Bagus! Pisang gorengnya enak. Boleh minta satu lagi?"
"Nih!" Seruni menyodorkan piring kayu. Rangga mengambil sebuah pisang goreng lagi yang masih mengepulkan uap panas. "Semua juga tidak apa-apa, Kang."
"Jangan ah! Nanti ayahmu tidak kebagian."
"Jangan khawatir, Kang. Buat Ayah, sudah ku siapkan, kok."
"Kau sendiri?"
"Ini...!"

Rangga tertawa melihat Seruni mengambil sepotong pisang goreng dan langsung memasukkan ke dalam mulutnya yang kecil. Pipi gadis kecil itu jadi menggembung, sehingga kelihatan wajahnya lucu. Mereka tidak tahu kalau dari balik jendela, Ki Biran memperhatikan sejak tadi. Namun terlihat sepasang bola matanya merembang berkaca-kaca.
Tiga hari Rangga berada di rumah ini, dan selama itu pula hubungannya dengan Seruni bertambah akrab. Dan tampaknya Seruni begitu menyukai Rangga, bahkan menganggapnya seperti kakak kandung sendiri. Seperti pagi ini, mereka bersenda gurau dan bercanda begitu riangnya. Diam-diam Rangga sekilas menangkap adanya seseorang di balik jendela rumah itu.
"Sebentar, Seruni," kata Rangga, seraya menurunkan gadis kecil itu dari pangkuannya.
Seruni hanya bisa memandang tanpa berkata-kata lagi. Sementara Rangga melangkah menghampiri jendela yang terbuka lebar. Ki Biran yang tidak menyadari akan kedatangan Rangga, buru-buru menghapus air matanya. Rangga agak terkejut juga melihat laki-laki tua itu seperti habis menangis. Dia kini berdiri di depan Jendela.
"Ada apa, Ki? Mengapa menangis?" tanya Rangga.
"Tidak..., tidak apa-apa. Aku hanya terkenang saja," sahut Ki Biran agak tergagap.
"Terkenang...?" Rangga melirik Seruni yang telah asyik bermain boneka kayunya.
"Ah, sudahlah. Lupakan saja, Rangga," Ki Kran mengelak.
Rangga ingin bertanya lagi, tapi laki-laki tua itu sudah berbalik dan meninggalkannya. Sesaat Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri termangu menatap ke dalam rumah melalui depan jendela. Hatinya berkata, pasti ada sesuatu yang tersembunyi di dalam diri Ki Biran, Mustahil laki-laki tua itu menangis tanpa sebab. Rangga mengalihkan pandangannya pada Seruni, dan gadis kecil itu kebetulan menoleh padanya.
"Ayo kita main lagi, Kakang...!" ajak Seruni riang.
Rangga tersenyum dan melangkah menghampiri. Seruni berlari-lari kecil menuju ke bagian samping kanan pondok ini. Rangga mengikuti, namun pikirannya masih tertuju pada Ki Biran. Tapi begitu berada di samping kanan rumah, pendengarannya yang tajam mendengar suara pertengkaran di samping kiri rumah.
"Hm.... Sepertinya suara Ki Biran...," gumam Rangga dalam hati.
Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti itu berpikir lebih jauh, mendadak terdengar suara jeritan melengking.  Seketika itu juga Rangga melompat melewati atap rumah, langsung meluruk turun ke samping kiri rumah itu Dan pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat, langsung menghilang di balik lebatnya pepohonan.
"Ki...!" Rangga terkesiap begitu melihat Ki Biran telah tergeletak. Darah mengucur deras dari dadanya.
"Ayah...!" tiba-tiba saja Seruni muncul.
Rangga menoleh, dan menggamit tubuh gadis kecil itu. Seruni berusaha berontak sambil menjerit-jerit memanggil ayahnya. Agak kewalahan juga Pendekar Rajawali Sakti menghadapi Seruni yang histeris. Tidak ada jalan lain lagi buat Rangga. Ditotoknya jalan darah gadis kecil itu, sehingga Seruni jatuh terkulai tak berdaya.
"Ki...!" Rangga bergegas menghampiri Ki Biran setelah merebahkan Seruni di tempat yang teduh.
Ki Biran masih bisa bernapas, meskipun darah semakin banyak keluar dari dadanya yang berlubang. Rangga berusaha menghentikan darah dengan menotok jalan darah di sekitar luka Itu. Tampak wajah Ki Biran demikian pucat. Dipindahkannya laki-laki tua itu ke tempat yang teduh, dan dibaringkan di balai-balai bambu.
"Ki...," pelan suara Rangga.
"Rangga..., tolong selamatkan Seruni...," ucap Ki Biran lirih.
"Bertahanlah, Ki. Aku akan berusaha menyelamatkanmu," ujar Rangga.
"Percuma. Rasanya aku tak kuat lagi. Jaga Seruni.... Bawa dia pergi jauh-jauh dari sini. Tolong, Rangga. Antarkan pada bibinya yang tinggal dekat Lembah Neraka...."
"Ki...!"
Rangga menarik napas panjang. Sedangkan Ki Biran langsung menghembuskan napasnya yang terakhir. Darah yang keluar begitu banyak, dan totokan Rangga hanya sementara saja sifatnya. Darah kembali mengucur tidak tertahankan lagi. Sebentar dipandangi tubuh Ki Biran yang dingin, tidak bernyawa lagi, kemudian dihampirinya Seruni yang masih tergolek tidak sadarkan diri akibat totokan pada jalan darahnya.
"Ayah...!" Seruni kontan melompat begitu Rangga membuka totokan ya.
Gadis kecil itu menangis menggerung-gerung memeluk mayat laki-laki tua yang selama ini merawat dan membesarkannya. Sementara Rangga hanya terpaku memandang. Sebentar menarik napas panjang dan berat, lalu memandang ke sekelilingnya. Mendadak keningnya jadi berkerut melihat beberapa penduduk desa ini hanya menonton dari jarak yang cukup jauh. Tidak ada seorang pun yang datang menghampiri.
"Hm..., aneh! Mereka seperti ketakutan," gumam Rangga dalam hati.
Orang-orang yang berada di kejauhan itu memang menyiratkan wajah ketakutan. Jumlah mereka semakin banyak, tapi tidak ada seorang pun yang menghampiri. Bahkan tidak ada kata-kata yang terdengar. Keadaan yang aneh ini membuat Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati. Sementara Seruni masih menangisi kematian ayahnya.
"Kakang...," lirih suara Seruni. Gadis itu menoleh memandang Rangga.
Seruni berlari dan memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Tidak ada yang dapat dilakukan Rangga selain membalas pelukan itu. Dibiarkan saja gadis kecil itu menumpahkan air matanya dalam pelukannya. Entah kenapa, seketika saja dia jadi kehilangan kata-kata. Lidahnya terasa kelu, sulit untuk digerakkan. Hanya tangannya saja membelai lembut kepala Seruni.

22. Pendekar Rajawali Sakti : Sabuk Penawar RacunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang