BAGIAN 5

946 35 0
                                    

Saat itu, tidak jauh dari Lembah Neraka, tampak seorang laki-laki gemuk menunggang kuda putih, sedangkan keempat kakinya warna hitam. Baju yang dikenakannya cukup mewah, meskipun sudah kotor oleh ikibu. Laki-laki gemuk itu memacu kudanya dengan kecepatan sedang, namun kelihatannya binatang itu mendengus-dengus kelelahan. Sedangkan titik-titik keringat membasahi sekujur tubuh laki-laki gemuk itu.
"Hooop...!" laki-laki gemuk itu menghentikan laju kudanya ketika melihat sebuah pondok kecil berada di antara pepohonan.
Dengan gerakan ringan dan cukup indah, dia melompat turun dari punggung kudanya. Kuda itu pun segera minum di dalam kubangan kecil. Laki-laki gemuk itu melangkah mendekati sebatang pohon besar yang tinggal sedikit daunnya. Dia berdiri bersandar pada pohon itu. Napasnya masih tersengal, dan keringat membanjiri tubuhnya.
Pandangan matanya tidak lepas ke arah pondok kecil yang hanya sekitar tiga tombak lagi jauhnya. Pondok kecil itu kelihatan sepi bagai tidak berpenghuni. Daun-daun kering bertebaran menyemaki sekitar pondok Itu. Laki laki gemuk Itu mengayunkan kakinya menghampiri pondok itu. Namun belum juga sampai, mendadak sebatang tombak panjang melesat dari arah pondok itu.
"Ih, hup..!”
Laki-laki gemuk itu bergegas melentingkan tubuhnya, berputar ke belakang. Tombak itu meluruk lewat di bawah tubuhnya. Dan belum lagi kakinya sempal menjejak tanah, tiga batang anak panah meluruk dera ke arahnya. Laki-laki gemuk itu segera mencabut pedangnya, lalu diputar cepat membentuk perisai! Maka, tiga batang anak panah itu pun rontok terbabal pedang yang berputar cepat bagai baling-baling.
"Hhh! Ada-ada saja...!" dengus laki-laki gemuk itu begitu kakinya menjejak tanah.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa menggelegar.
"Hm..., Girindra...," gumam laki-laki gemuk itu.
"Bagus! Akhirnya kita bertemu juga di sini, Patih Giling Wesi!"

Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang laki-laki tua berjubah merah. Tidak berapa lama, sesosok tubuh lain melesat keluar dari dalarri pondok. Laki-laki gemuk itu memang Patih Giling Wesi. Saat ini, dia memang tengah mencari Intan Kemuning hingga sampai ke tempat ini.
Patih Giling Wesi tidak terkejut lagi melihat seorang pemuda tampan berbaju putih bersih bagai seorang ningrat, muncul dari dalam pondok itu. Dia kenal betul dengan pemuda itu.
"Rupanya kau masih hidup, Kalaban!" dingin suara Patih Giling Wesi.
"Aku tidak akan mati sebelum mendapatkan putriku, Patih Giling Wesi!" sahut Kalaban tidak kalah dinginnya.
"Sampai kapan pun kau tidak akan bisa mendapatkan anakku, bocah setan!"
"Ha ha ha...!" Kalaban hanya tertawa saja. 'Mampus kau, keparat!"
Kalaban langsung melompat menerjang laki-laki gemuk dari Kerajaan Galung itu. Terjangan yang sangat cepat dan bertenaga dalam penuh itu dengan manis dapat dihindari Patih Giling Wesi. Dan pada saat, tubuhnya miring ke kanan mengelakkan terjangan itu, satu sodokan keras diarahkan ke perut.
"Uts!" Tak!
Patih Giling Wesi terlonjak kaget begitu tangannya membentur tangan Kalaban saat menangkis sodokan itu. Bergegas dia melompat mundur ke belakang. Seluruh persendian tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa. Tulang-tulangnya menjadi kaku, dan nyeri rasanya. Patih Giling Wesi langsung menyadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding pemuda itu.
"Ha ha ha...! Kau akan mampus, Patih Giling Wesi" Kalaban tertawa terbahak-bahak.
"Tidak semudah itu kau membunuhku, Anak Muda!" dengus Patih Giling Wesi seraya mencabut pedangnya yang tadi sempat dimasukkan ke dalam sarungnya.
Setelah berkata demikian, Patih Giling Wesi cepat melompat menerjang sambil mengibaskan pedangnya. Kalaban menarik perutnya ke belakang sehingga jadi agak membungkuk. Ujung pedang Patih Giling Wesi sedikit lagi pasti akan membabat perut Kalaban.
Gagal dengan serangan pertamanya, Patih Giling Wesi segera melancarkan serangan-serangan dahsyatnya. Setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi. Namun Kalaban bukan anak kemarin sore. Dia selalu dapat menghindari serangan serangan itu. Bahkan mampu memberikan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Sementara tidak berapa jauh dari tempat pertarungan itu, Eyang Girindra memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
Dari bibir tipis yang tertutup kumis putih, laki-laki tua berjubah merah itu tersenyum. Kepalanya terangguk-angguk penuh kepuasan melihat muridnya mampu menandingi Patih Giling Wesi. Bahkan serangan-serangan balasannya mampu membuat patih gemuk itu harus jungkir-balik menghindarinya. Entah sudah berapa jurus berlalu dengan cepat Tampaknya pertarungan masih berjalan seimbang.
"Awas kepala...!" seru Kalaban tiba-tiba dengan keras.
Sret'
Bersamaan dengan keluarnya tongkat putih keperan dari balik ikat pinggangnya, Kalaban segera mengibaskan tongkat itu ke arah kepala Patih Giling Wesi. Tongkat berwarna keperakan itu langsung menunjang dan berkelebat cepat ke arah kepala.
"Uts!"
Patih Giling Wesi merundukkan kepalanya sedikit, menghindari tebasan tongkat keperakan itu. Tapi belum juga bisa mengangkat kepalanya kembali, mendadak saja sebelah kaki kanan Kalaban menghentak ke depan. Tendangan keras yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam penuh itu tidak dapat dielakkan lagi.
"Ugh!"
Patih Giling Wesi mengeluh pendek. Seketika saja dadanya terasa sesak, dan tulang-tulangnya seperti remuk kena tendangan keras bertenaga dalam cukup penuh itu. Tubuhnya terlontar deras ke belakang. Sebongkah batu besar kontan hancur herkeping-keping terbentur tubuh gemuk itu.  Patih Giling Wesi berusaha bangkit kembali, namun tubuhnya sempoyongan. Dari mulutnya meluncur segumpal darah kental.
"Ha ha ha...! Sebutlah nama leluhurmu sebelum kukirim ke neraka, Patih Giling Wesi!" ujar Kalaban pongah.
"Phuih!" Patih Giling Wesi menyemburkan ludahnya yang bercampur darah.
Dengan tubuh masih terhuyung-huyung, dicobanya untuk menyerang pemuda itu kembali. Pedangnya berkelebat cepat ke arah leher. Namun manis sekali Kalaban menghindarinya dengan menarik lehernya ki belakang. Dan tiba-tiba tongkat perak Kalaban bergerak cepat bagaikan kilat menghajar iga Patih Gilini Wesi.
Kembali Patih Giling Wesi terpental ke samping. Tulang iganya benar-benar patah kali ini. Beberapa kali dia bergulingan di tanah, dan dengan cepat berusaha bangkit kembali. Namun baru saja dapat bangkit datang lagi satu pukulan keras ke arah wajahnya yang disusul sebuah pukulan telak mengjajar dadanya.
"Hiyaaa...!" Kalaban berteriak keras seraya mengibaskan tongkatnya ke arah kepala laki-laki gemuk itu.
Patih Giling Wesi yang sudah tidak berdaya lagi hanya mampu membeliak melihat tongkat perak itu meluncur deras ke arah kepalanya. Saat itu dirasakan nyawanya sudah melayang dari badan. Dan pada saat yang genting itu, tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat cepat memapak ayunan tongkat perak Kalaban.
Trak!
"Akh!" Kalaban memekik tertahan.
Tongkatnya terpental jauh ke udara. Tiba-tiba Eyang Girindra melesat cepat mengejar tongkat itu dan langsung meluruk turun setelah berhasil menangkap tongkat muridnya. Dengan sigap, kakinya menjejak tanah di samping Kalaban. Tampak pemuda itu masih dihinggapi rasa terkejut seraya mengurut pergelangan tangannya.
"Kau tidak apa-apa, Paman Patih?" tanya seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih, yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Patih Giling Wesi.
"Rangga...," desis Patih Giling Wesi begitu mengenali pemuda itu. "Syukurlah kau cepat datang...."
"Siapa orang yang bersama Kalaban itu?" tanya Rangga seraya melirik laki-laki tua berjubah merah yang berdiri di samping Kalaban.
"Dia Eyang Girindra, gurunya Kalaban dan Empat Bayangan Iblis Neraka," jelas Patih Giling Wesi.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.
Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri tegak membelakangi Patih Giling Wesi. Pandangannya tajam, langsung tertuju pada Eyang Girindra. Sesaat kemudian tatapan matanya beralih pada Kalaban. Dia harus meminta obat penawar racun untuk Intan Kemuning pada pemuda telengas Itu.
"Kebetulan sekali kita berjumpa di sini, Kalaban," kata Rangga kalem, namun bernada sinis.
"Ya, memang kebetulan sekali! Kau bisa membayar hutangmu, Pendekar Rajawali Sakti!" sambut Kalaban dingin.
"Dan kau pun harus membayar hutang atas penderitaan rakyat Kerajaan Galung, Kalaban!" balik Rangga ketus.
"Setan! Mampus kau...!" geram Kalaban seraya merebut tongkat peraknya dari tangan Eyang Girindra
"Tahan, Kalaban!" sentak Eyang Girindra merentangkan tangannya mencegah serangan pemuda itu. Kalaban tidak jadi menyerang Pendekar Rajawal Sakti. Sementara Eyang Girindra melangkah ke depan tiga tindak.  Tatapan matanya begitu tajam tidak berkedip. Sebatang tongkat diketuk-ketukkan ke tanah dekat ujung jari kakinya. Rangga yang memperhatikan sejak tadi, sudah bisa mengukur tingkat kepandaian laki-laki tua berjubah merah itu. Jelas dia harus hati-hati menghadapinya.
"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, Anak Muda. Tapi kau sudah membunuh empat orang murid kesayanganku. Seharusnya kau kubunuh untuk membayar nyawa murid-muridku. Hanya saja kali ini aku akan memberimu kelonggaran. Dan sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini," kata Eyang Girindra kalem, namun nada suaranya mengandung ancaman.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Orang Tua. Tapi maaf, aku tidak bisa pergi begitu saja karena masih ada urusan dengan muridmu itu," sahut Rangga tegas.
"Eyang, biar kubunuh setan keparat itu!" bentaK Kalaban tidak sabar.
"Diam kau, Kalaban!" bentak Eyang Girindra.
"Persetan!"
Kalaban tidak bisa lagi mengekang amarahnya Tanpa menghiraukan bentakan gurunya, dia langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tongkat peraknya berkelebat cepat mengarah ke kepala pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hait...!"

22. Pendekar Rajawali Sakti : Sabuk Penawar RacunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang