5- Segala yang sudah terlewatkan

1.1K 155 21
                                    

"Jungkook akan ikut bersamaku ke Vegas, bagaimanapun caranya."


Annie menyesap teh hijau mengepul pada mug besar polos berwarna senada awan. Sedang, sosok lain ada di seberang meja makan dengan cangkir berisi kopi hitam yang sama dengan asap tipis. Suasana lewat tengah malam yang menjadi mencekam, walau Namjoon terlihat amat tenang menanggapi wanita dihadapannya.

Kepalan tangan Annie mengerat saat tidak satupun kata yang terlontar dari belah bibir Namjoon yang malah menatapnya datar.

"Kim Namjoon, setelah aku membawa Jungkook pergi urusi saja pekerjaanmu. Jungkook akan bahagia bersamaku, ibunya."

Wanita awal tigapuluhan itu beranjak, menenteng mug besar yang masih terisi penuh.

"Dan kau pikir semua itu cukup? Kim Chanmi sudah seharusnya kau mengerti keinginan anak kita."

Langkahnya terhenti setelah suara berat Namjoon mengudara, pengangannya pada kuping mug mengerat. Perasaan keibuannya terluka, Namjoon seolah meragukan perhatian Annie pada anak mereka.

Annie berbalik, menatap Namjoon lurus pada iris kembarnya yang serupa Jungkook walau bentuk matanya mengkopi penuh sang Ibu. Tatapan Ibu dari Jungkook itu begitu dalam, hingga setitik di relung hati Namjoon terluka.

"Jungkook anakku Namjoon. Tolong, Berhenti meragukanku."

Setitik air mata meluruh, setelah sekian lama Namjoon kembali melihat wanita yang--masih--dulu ia cintai meneteskan air mata atas keraguan dirinya.

"Kau selalu menuduhku tidak perhatian dan melewatkan segalanya tentang Jungkook, lantas apa kau tidak berpikir jika KAU JUGA MELAKUKAN HAL YANG SAMA?!"

Gema teriakkan Annie mengisi keheningan rumah, para pelayan yang sebenarnya menguping di balik pintu kamar mereka pun hingga terjengit kaget. Di iringi isakkan memilukan, seorang Ibu yang terluka hatinya tengah menyuarakan sesak tertahan dibawah malam menjelang pagi dengan rinai hujan yang mulai terdengar.

Namjoon menangkap pada pandangnya punggung sempit itu berlalu di telan remang, sedang ia sendiri termenung dalam. Sama-sama terjebak pada penyesalan.

***

Pintu kayu bercat putih hadapannya di dorong pelan. Setelah mengumpulkan kewarasannya, Namjoon memberanikan diri menemui sosok yang tengah terbaring menghadap Jendela dan membelakangi pintu masuk.

Dengan cara berjalannya yang sempoyongan, menegaskan bahwa Namjoon hanya tenang diluar saja. Tidak dengan hatinya yang lebih dari kata hancur, berserakan, tak berbentuk lagi.

Setelah perdebatannya dengan Ibu Jungkook, Namjoon memilih menegak sisa kaleng Bir yang tersisa di kulkas dan merenung hingga matahari beranjak naik.

Punggung ringkih itu didekapnya erat, menghirup aroma yang menguar dari ceruk leher sang anak rakus seolah tidak ada hari esok untuk menikmati kebersamaan mereka.

Cahaya matahari yang menembus celah gorden tipis, juga sebentuk tangan besar melingkupi tubuhnya membuat Jungkook terusik. Tidak lama untuk mengenali siapa yang tengah merengkuhnya, dengan hangat embusan nafas yang menerpa tengkuknya juga aroma musk maskulin yang hanya ia kenal baik.

"Ayah?" suara Jungkook lirih, tetap dengan pandangan yang mengarah ke jendela. Sedang Namjoon membalasnya dengan gumaman kecil, matanya terpejam erat.

Hanya sebentar hening itu terpecah, selebihnya hanya terdengar desiran nafas kedua orang yang tengah berbaring bersahutan dan detak jarum jam di nakas dekat lampu tidur.

Jungkook memainkan jemari sang Ayah yang melingkari perutnya. Dan ukurannya ternyata jauh lebih besar, berbeda dengan miliknya yang terlihat begitu kurus bandingannya. Tidak ada yang ia pikirkan, hanya diam dan menikmati hangat tubuh ayahnya.

"Ayah menangis?" Jungkook cepat-cepat berbalik saat merasakan bahu polosnya terasa basah. "A-ayah?" mata anak itu berlarian gelisah, terlebih ayahnya menangis dengan mata yang memejam.

Ditangkupnya pipi sang Ayah dengan tangan kurus itu yang berbalut tangan sweater kebesaran. Menghapus jejak-jejak air mata disana, yang tak kunjung pula berhenti.

"Kenapa Ayah menangis?" Suara Jungkook mulai terdengar bergetar, Namjoon membuka matanya dan mendapati wajah sang Anak yang begitu dekat mulai memerah terbawa suasana.

"Karna Ayah sayang sekali padamu, Koo." ucap Namjoon pelan, pelukannya mengerat semakin membawa sang Anak mendekat. Jungkook sekilas menghirup aroma aneh.

Lagi-lagi ibu Jari Jungkook mengusap air yang mengalir dari mata sang Ayah, walaupun hal yang sama pun terjadi pada kedua matanya.

"Ta-pi Ayah tidak boleh menangis. Itu membuatku sakit yah."

Namjoon menyatukan dahinya dengan dahi sang Anak yang membuat keduanya terpejam, masih dengan air mata yang berlomba-lomba turun.

"KooKoo ayah yang seperti ini pun membuat ayah sakit sekali." ucap Ayah muda itu masih dengan mata yang terpejam dan dahi bersentuhan.

"Maaf A-ayah." Jungkook terisak hingga bahunya ikut terguncang.

Namjoon jelas menolak permintaan maaf sang Anak, sebab tidak ada yang perlu di maafkan dari Jungkook yang sesuci dan sepolos air telaga. Tidak, tidak. Namjoon menggeleng, menyatukan hidung bangirnya dengan milik sang anak lalu mengecup pucuknya ringan.

"KooKoo ayah tidak pernah membuat salah. Baik sekali hatinya. Jangan meminta maaf tentang apapun pada ayah ya, nak? Sebab KooKoo anak ayah yang sangat baik."

Namjoon mengecup lama dahi Jungkook yang menguarkan hawa panas, lantas menenggelamkan wajah penuh air mata itu pada lehernya. Memeluk bocah laki-laki yang ia beri nama di bawah terang bulan itu tenggelam dan kehangatan yang ia berikan cuma-cuma.

"Tetap bersama ayah, Ya Koo. Maaf sudah melewatkan banyak hal tentangmu. Anakku."[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Patah;JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang