I

5.2K 314 14
                                    

Ruangan besar yang sedikit penerangan itu penuh sesak. Aku melepaskan kancing lengan kemeja, menggulungnya sambil menerobos jejalan masa. Suara teriakan dari berbagai sisi terdengar berdengung-dengung. Andai saja aku tidak sedang melaksanakan tugas, tak sudi aku menceburkan diri dalam jubelan manusia kurang hiburan ini.

"Joe! Joe!"

"Ayo, pukul dia Ahmet!"

Orang-orang berteriak menyebutkan dua nama yang kini tengah berhadapan di sebuah lingkaran merah di bawah sana.

Arena adu pukul.

Aku tidak suka. Mereka tampak seperti dua hewan yang menjadi tontonan.

Pertama kali aku datang di Istanbul, kupikir tak ada tempat-tempat seperti ini, tapi kenyataannya sama saja.

Ahmet? Seperti nama muslim? Tidak perlu heran. Aku yakin ada banyak sekali Muslim yang saat ini ikut berdiri menonton dan berteriak-teriak. Kau harus ingat, dahulunya Turki pada masa pemerintahan Atatürk adalah negara republik yang berpaham sekuler. Jadi saat ini meskipun mereka mengaku beragama Islam, sebagian mereka berideologi sekuler.

"Permisi," ucapku sambil menyibak lengan seorang wanita.

"Hello, Tampan. Kau mau kemana? Di sini sajalah denganku."

Sial. Wanita ini ternyata suka berbasa-basi. Ia membelai wajahku dengan jemari sambil mengedipkan sebelah mata. Tersenyum menggoda. Wanita yang masih cukup muda, berambut pirang. Berdasarkan pengamatan singkatku dengan ruangan yang temaram begini, ia pasti wanita Prancis. Jelas sekali dari aksennya berbicara.

Ini adalah arena gelap yang memberikan tontonan pengunjung internasional. Semua orang berkantong tebal boleh memasuki ruang yang berada di lantai paling atas sebuah hotel ternama di Istanbul ini. Jadi kau tidak perlu bertanya lagi alasan keberadaan si blonde satu ini.

"Biarkan aku lewat, s'il vous plaît," kataku dengan wajah santai.

Wanita itu mengamatiku dari atas hingga bawah. Wajahnya yang semula dihiasi senyuman seketika masam. Ia mendengus kesal, melayangkan pandangan tidak suka.

"Pergilah. Laki-laki sepertimu ini banci, atau mungkin gay," ketusnya sebelum membelakangiku.

Tanpa menggubris ucapan yang dilontarkannya-yang sebenarnya sangat menyakitkan, aku menembus jalan sempit di belakangnya dengan tetap tersenyum tanpa beban. Setelah berjalan beberapa meter, aku kini berdiri di salah satu tempat sedikit lebih lapang. Mataku menjadi lebih leluasa memandang seisi ruangan.

Malam ini dia mengenakan kemeja putih, kau akan lebih mudah mengenalinya.

Begitu petunjuk yang diucapkan Ben melalui telepon sebelum aku memasuki ruangan ini. Ucapan Ben benar, putih adalah warna yang paling mencolok di ruangan dengan cahaya seperti ini. Aku juga sudah akrab dengan wajah laki-laki yang dimaksud Ben, meskipun dia mengenakan pakaian berwarna apapun atau bahkan dia berganti warna pakaian dalam beberapa menit sekali seperti bunglon.

Dan yeah tentu saja aku sudah menemukannya sekarang.

Dia adalah salah satu petarung yang akan maju ke ring merah sebentar lagi. Tubuhnya tinggi ideal. Wajahnya cukup tampan dan muda. Umurnya tidak lebih dari 28 tahun.

***

"Apa alasannya?" tanyaku pada Ben, tiga hari lalu, ketika ia memberitahu tentang tugasku selanjutnya.

Sore itu kami duduk di dekat Bozdogan Valens Aqueduct-Bozdoğan Kemeri, sambil menikmati soft drink dan baklava yang dibawa Ben. Ia menggunakan jins biru donker, jaket hitam, dan topi wol hitam, lengkap dengan sepatu sport yang sedikit usang. Tampak tidak ada bedanya dengan para laki-laki Turki yang berlalu lalang. Aku sendiri berpakaian tidak terlalu jauh berbeda dengan Ben.

Arah Jam Sepuluh dari OttomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang