XIII

1K 140 26
                                    

Aku kembali ke apartemen ketika senja telah hilang. Sejak kejadian siang tadi, aku memilih menghabiskan waktu di Galata Tower. Duduk sendiri di sana menanti senja turun. Ayesha barangkali langsung pulang. Ia pergi tanpa menoleh sekalipun. Mungkin kalimatku tadi terlalu berlebihan.

Aku pernah membaca sebuah kalimat tentang wanita 'Wanita bisa memendam cintanya selama empat puluh tahun, namun mereka tidak pernah bisa memendam amarah walau sedetik pun'. Awalnya aku setuju dengan kalimat itu setidaknya sebelum pertemuan dengan Ayesha. Aku merasa kalimat itu tidak berlaku sama sekali untuknya. Ayesha tidak pernah marah padaku. Berkali-kali aku bersikap cuek padanya, tidak mengacuhkannya, terkadang seperti memperlihatkan wajah tidak suka, tapi ia tidak pernah menanggapi serius.

Bahkan saat kejadian tadi, aku masih juga belum bisa memastikan kebenaran bahwa dia marah. Ayesha tidak meledak-ledak ketika aku berbicara sekasar tadi. Ia hanya mengucapkan terimakasih lirih, kemudian berlalu pergi. Apakah aku bisa menyimpulkan itu marah? Lalu mengapa tidak diluapkannya saja kemarahannya dengan menamparku barangkali atau memaki-makiku di depan orang banyak?

Sikapnya yang seperti itu justru membuatku sakit sendiri.

Setelah aku berpikir ulang, ada baiknya juga ucapan kasarku tadi. Hanya dengan cara seperti itu, dia bisa menjauh. Hidupku yang normal ini tidak akan berlangsung lama. Aku yakin, dalam waktu satu atau dua hari ke depan, Ben pasti sudah menghubungi. Belum lagi soal alkohol yang tidak bisa kulepaskan.

Biarlah Ayesha menjalani kehidupan seperti sebelumnya, dan aku menjalani kehidupanku sendiri. Kita sudah terbiasa hidup begitu, jadi tidak akan terlalu sulit.

Aku membuka kunci apartemen. Tadi sebelum menaiki tangga aku sempat melihat pintu apartemen Tuan Güzel. Tertutup. Sepertinya terkunci dari luar. Di dalamnya juga sepi. Mereka tampaknya belum pulang dari Antalya.

Setelah membuka sepatu dan jaket, aku membenamkan diri di atas tempat tidur. Seperti ada yang mengganjal di saku celana. Tanganku merogoh dengan malas. Hanya sekaleng bir yang tadi kubeli sambil lalu. Serius! Ini tidak akan berpengaruh jelek jika aku meminumnya. Kadar alkoholnya juga rendah sekali.

Sekarang hasrat itu belum datang, jadi kulemparkan saja ke samping kanan, di sisi tempat tidur yang tidak pernah kutiduri.

Aku memejamkan mata, mencoba terlelap. Sayang semakin aku berusaha mengosongkan pikiran, wajah Ayesha justru semakin memenuhi kepala, kemudian ,enyusul wajah Ishak, Ayah, dan Ibu.

"Kau adikku. Aku mencintaimu. Jangan ulangi lagi perbuatanmu ini!"

Haruskah aku mengulang kalimat itu lagi, Jasmina?

Iya, adikku yang gemuk itu namanya Jasmina. Aku tidak tahu sejak kapan ia berganti nama menjadi Ayesha.

"Cemasku siang tadi melebihi waktu kau meninggalkan pasar kala itu. Kau tidak akan pernah mengerti, Jasmina, bagaimana rasanya berpuluh tahun aku kehilangan jejak semua keluarga kita, lalu aku dipertemukan kembali dengan adik yang begitu kusayang, meskipun aku enggan mengakuinya. Kau tidak pernah mengerti sakitnya menahan diri untuk tidak mengatakan kenyataan demi kebaikan kita semua, sementara hatiku meronta agar aku mengakuinya. Bertahun-tahun aku pendam berbagai pertanyaan, apakah kau masih hidup? Bagaimana kondisimu pada saat pembantaian di tahun 1992? Bertahun-tahun kusimpan permintaan maafku karena tidak bisa menjagamu kala itu, atau setidaknya menggandeng tanganmu dan Ishak meninggalkan Sarajevo. Takdir berbicara lain, aku terdampar di jalan yang berbeda. Semua kisah tentang kita benar-benar kupendam terlalu dalam sehingga aku lupa pernah menguburkannya. Aku tidak mengerti, kenapa Tuhan mempertemukan kita di waktu yang tidak tepat.

Kamu tahu Jasmina, Ayesha, air mata ini masih bisa mengalir seperti kala itu, aku menangis di depan fotomu saat kau tidur di rumah nenek. Sekarang aku paham, mengapa sejak kecil aku tidak begitu menunjukkan cintaku, karena keadaan kita di masa depan akan seperti ini. Seandainya aku terlalu dekat denganmu, kau pasti bisa mengenaliku dengan mudah. Itu tidak boleh terjadi sebab hidupku sudah jauh terseret arus dari persimpangan tempatku pertama kali terdampar.

Arah Jam Sepuluh dari OttomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang