V

1.1K 155 6
                                    

"Istanbul University. Fakultas kedokteran."

"Wow! Majestic!"

Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan setelah kupuji demikian. Ia memilih menunduk dengan wajah keruh. Seorang pengunjung memanggilnya untuk mengantarkan sebotol wine, ia beranjak tanpa semangat lalu menghidangkan wine itu dengan seulas senyum datar.

"Kau begitu cinta kepada ibumu?" tanyaku kembali setelah ia kembali duduk di seberang.

"Tentu saja. Bahkan jika Nabi tidak memerintahkan agar aku berbakti padanya, aku akan tetap berbakti padanya. Ibu pernah menembus musim dingin dari Keyseri menuju Istanbul hanya untuk menjengukku yang demam," kenangnya.

Aku tersenyum tipis sambil mencuri pandang pada matanya.

Adalah ibu, perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta akan kebaikan dan ketulusannya. Adalah ibu, perempuan yang setiap hari kurindukan namun kabar tentangnya tidak pernah lagi terdengar.

Logikaku mengatakan untuk tidak menganut satu agama pun, tidak juga mengakui Tuhan kepercayaan mana pun, namun seandainya kabar Kitab Suci yang mengatakan adanya kehidupan setelah mati itu benar, aku berharap Ibu berada di tempat yang menyenangkan kini.

"Kau kenal laki-laki itu?" tanyaku kepada Mehmet dengan mengangkat satu alis mata dan mengode pada laki-laki di sofa merah.

"Oh, dia Tuan Tevrat Duranoğlu, sudah lima malam ia menginap di hotel ini bersama istrinya. Tapi sepertinya malam ini istrinya tidak datang kemari. Dasar laki-laki superclass, baru saja lengah sebentar dia sudah menggoda wanita lain." Mehmet tersenyum benci sambil melirik pada laki-laki yang berumur tidak lebih dari 45 tahun.

"Jam berapa biasanya laki-laki itu keluar dari sini?"

"Hmm ... biasanya sekitar pukul 23.00 malam istrinya sudah kembali ke kamar, dan laki-laki itu akan meninggalkan bar ini setelah pukul 01.00 dini hari."

Aku menguap sambil menutup mulutku dengan telapak tangan, melirik arloji, sekarang pukul 00.30.

"Baiklah, My Friend," ucapku dengan suara penuh tekanan, beranjak, dan menepuk pundak teman baruku ini, "Tampaknya aku sudah mengantuk, aku harus kembali ke kamar, masih ada sedikit pekerjaan yang harus kuselesaikan sebelum tidur. Maukah engkau atau siapapun pegawai bar ini berbaik hati mengantarkan wine ke kamarku di nomor 1405 tepat pada pukul 12.55, jangan kurang dan jangan lebih."

Aku berniat untuk menuliskan jenis-jenis wine yang kupesan, namun teringat sesuatu sehingga aku mengurungkannya. Sebelum meninggalkan meja, aku memberikan 1000 lira kepada remaja itu. "Lebihnya adalah tips." Aku mengerling dan pergi sebelum sempat ia mengucapkan sepatah kata apapun.

Begitu melewati pintu bar, aku enuju meja resepsionis di lantai satu. Check in.

Aku berjalan menuju kamar di lantai tiga puluh dengan seorang pelayan hotel yang mengikuti di belakang. Sesampai di depan pintu, pelayan dengan wajah penuh jambang itu segera membukakan pintu. Ia mempersilakan aku masuk dengan begitu hormat. Ia juga menanyakan apakah ada yang perlu ia lakukan lagi demi kenyamananku di kamar ini yang kujawab singkat bahwa aku tidak butuh apa-apa lagi sambil membanting diri di atas tempat tidur. Ia mengucapkan selamat beristirahat, dan segera menutup pintu dari luar.

Aku membalikkan tubuh, berbaring sambil memandangi langit-langit kamar. Jam analog di dinding menunjukkan pukul 00.40. Aku meraba saku jas bagian dalam, sedikit tersenyum karena benda yang kubawa masih ada di sana. Pukul 00.45 aku ada janji dengan seseorang di hotel ini, jadi tidak mungkin aku langsung beristirahat.

"...Lagipula di kehidupan nyata, seseorang tidak ada yang memperhatikan waktu sedetil itu."

Kalimat Ayesha pagi tadi kembali melintas dalam kepalaku. Ah, kau salah, Gadis Kecil. Bagiku memperhatikan waktu adalah hal paling krusial. Sedikit saja aku salah memperkirakan waktu, maka hidupku taruhannya. Waktu tidak akan terlalu penting bagi mereka yang tidak merasakan bahwa setiap saat dari hidupnya adalah sesuatu yang berharga.

Arah Jam Sepuluh dari OttomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang