XI

1.1K 165 21
                                    

Aku masih duduk di depan jendela ketika pintu apartemen terbuka.

"Iyi geceler. Belum tidur?" tanyanya sambil mengatur napas. Tangga dari lantai satu itu memakan banyak korban.

Aku tidak menoleh sama sekali, hanya menggelengkan kepala. Mataku tidak beralih sedikit pun dari selat di bawah, pada kerlap-kerlip ribuan lampu yang menghadirkan kenangan.

Ayesha mendekat. Ia berdiri di sampingku dengan tangan kirinya yang sedikit menyingkap gorden. Ia mengikuti arah mataku menatap.

"Kau tahu ada apa dulunya di bawah jembatan Galata itu, Van?" tanyanya setelah kami diam cukup lama. Matanya menatap lurus jembatan yang ia maksud.

Jika kau melihatnya dari tempatku sekarang, jembatan itu ada di sisi sebelah kiri. Lampu-lampu kendaraan yang melintas di atasnya terlihat seperti semut yang bercahaya. Ada tiga jalur yang melewati jembatan itu, jalur kendaraan umum biasa, jalur trem, dan jalur bagi pejalan kaki.

"Di sana dulu dipasang sebuah rantai raksasa, sehingga tidak ada satupun kapal yang bisa memasuki Golden Horn dan punya kesempatan untuk menyerang Konstatinopel dari arah sana," ceritanya. Kuakui, dia memang paham benar dengan kota ini dan sejarahnya. "Jika kau adalah panglima perang yang ingin menaklukkan Konstatinopel saat itu, apa yang akan kau lakukan dalam posisi seperti itu sementara pasukanmu sendiri dalam keadaan terdesak?"

Aku tidak merespon apapun. Lagipula aku tidak pernah berkhayal menjadi panglima perang.

"Kau lihat daratan di seberang sana? Tempat Galata Tower berdiri, kau lihat?" Ayesha menunjuk satu buah menara dengan atap runcing di seberang selat, dimana aku dan perempuan yang tewas di hotel beberapa waktu lalu berkali-kali bertemu.

Aku mengangguk.

"Kau juga pasti sudah ke sana dan tahu betapa kontur di area tersebut tidak rata. Ya, karena di sana memang perbukitan. Perbukitan Galata. Satu hal yang tidak pernah terbersit oleh akal pikiran semua orang ketika itu, bahkan seluruh penduduk Konstatinopel, adalah kapal-kapal yang hanya bisa berlayar di atas lautan ternyata bisa mengarungi perbukitan. Cuma Sultan Mehmed satu-satunya manusia pada masa itu atau bahkan sampai saat ini, yang bisa menembus ide itu."

Ia menunjuk jauh ke depan, ke kota seberang, "Dengan jarak tempuh 1,5 kilometer, hanya dalam waktu satu malam!" serunya takjub. "Meskipun pasti banyak yang dikorbankan."

Aku memang tidak terlalu peduli dengan sejarah, terlebih sejarah tanah bangsa Turk ini. Bagiku cukuplah mengetahui bahwa Istanbul adalah saksi perjalanan peradaban-peradaban besar di atasnya.

Sebelum jatuh ke tangan Ottoman melalui Al-Fatih dan pasukannya, Konstatinopel adalah kota terbesar dan terkaya di dunia selama kekaisaran Romawi. Hal itu disebabkan letaknya yang berada di posisi paling strategis, yaitu di jalur utama perdagangan antara Laut Argean dan Laut Hitam.

"Kau tahu tentang The Muhammed's Great Gun? Kau tahu ceritanya?" tanya Ayesha lagi.

Aku kembali menggeleng kecil.

"Itu adalah meriam raksasa hasil karya Orban dalam rangka memenuhi pesanan Al-Fatih. Sebelumnya Orban pernah menawarkan senjata model ini ke pihak Byzantium. Sayang mereka sudah cukup puas dengan tembok Theodosius yang mereka miliki, lagipula senjata hasil karya Orban membutuhkan biaya mahal untuk produksinya. Kemudian di sebuah kota bernama Andrianopel, Orban dan Al-Fatih dipertemukan. Al-Fatih menanyakan apakah Orban sanggup membuat sebuah senjata yang bisa meruntuhkan tembok Theodosius. Bukan hanya sanggup, Orban bahkan mengatakan bahwa tembok Babilonia pun akan hancur karena senjata buatannya,

"Kemudian di Andianopel pula Orban menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan proyek senjata tersebut. Tentu saja dengan dukungan dana dari Al-Fatih. Akhirnya terciptalah sebuah senjata terbesar di dunia pada masa itu, yang diberi nama The Muhammed's Great Gun. Senjata yang ketika memuntahkan peluru, akan menghasilkan dentuman menggelegar yang menakutkan, diikuti tanah yang bergetar."

Arah Jam Sepuluh dari OttomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang