Part 7

3.2K 380 10
                                    

"Kak Ryan"

Gadis kecil itu menangis dengan keras di dalam sebuah ruangan gelap tanpa satu orang manusia pun, hanya ada suara decitan hewan pengerat dan juga dentuman keras besi loteng akibat angin yang begitu keras.

"Alena takut" gumam gadis itu sembari memeluk dirinya erat-erat hal ini dia lakukan untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya malam.

Dia hanya ingin mengambil bola kaki milik Ryan yang terlempar ke dalam gudang ini, salahnya sendiri juga karena memutuskan memainkan bola milik kakaknya tersebut hingga akhirnya berakhir terlempar ke sebuah gudang yang dia tidak ketahui keberadaannya sebelum ini.

Seharusnya dia menuruti bibi Yanti yang tidak memperbolehkannya memainkan mainan milik kakaknya itu. Jika dia menuruti bibi Yanti maka dia tidak akan berakhir di ruangan gelap ini.

Dengan isakan tangis yang masih terdengar dia kembali mengambil bola kaki dengan tangan mungilnya, gadis itu tidak ingin kehilangan bola tersebut hingga membuat Ryan marah padanya.

"Kak Ryan, Alena takut."

"Alena gak mau sendiri."

Riana menarik nafas dalam-dalam saat terbangun dari tidur. Tepat dikala itu suara petir terdengar keras membuat dia menutup telinga dengan cepat.

Mata Riana memanas, dia merasa janggal dengan tubuh ini. Pemicunya mungkin karena mimpi aneh barusan.

"Kak Ryan?" ringis Riana, tanpa sadar air matanya jatuh. Dengan perlahan disekanya air mata tersebut dengan menggunakan ibu jari.

Ada apa ini, mengapa dia seperti gadis melankolis hanya karena sebuah mimpi.

"Alena takut," bisik Riana, tepat selepas Riana berucap lampu kamarnya padam.

Rasa takut muncul seketika dan semakin menjadi-jadi, Riana saat ini bisa merasakan perasaan Alena kecil ketika sedang terkurung dalam sebuah gudang. Gelisah dan juga bingung ingin berbuat apa, Riana hanya dapat berteriak memanggil seseorang.

"Kak Ryan!"

Suara Isak semakin keras, tubuh Riana bergetar tanpa sebab. Sungguh, saat hidup di masanya Riana tidak pernah setakut ini dengan kegelapan bahkan bisa dikatakan jika dia anak yang cukup berani.

Namun mengapa rasa ini berbeda, Riana terguncang dari batin bagai trauma yang tidak mampu terobati.

Suara pintu terbuka tanpa Riana tau siapa yang masuk ke dalam kamarnya, yang Riana rasakan hanya depakap lembut, membuat tubuhnya tidak lagi gemetar sepeti sebelumnya.

"Kak Ryan," gumam Riana dalam dekapan sosok yang dia yakini sebagai Ryan ini. Ucapan Riana sudah tidak sinkron dengan logika, dia bagaikan sedang dikendalikan.

"Tidak apa, sudah ada aku. Kamu tidak perlu takut."

"Kak Ryan." Riana mendekap erat punggung Ryan, menelusupkan wajahnya pada dada bidang pria itu.

Dia mulai merasa tenang disaat Ryan mengelus punggungnya. Hingga akhirnya Riana tertidur lelap dalam dekapan pria yang kini tengah mengecup pucuk kepala Riana tanpa gadis itu sadari.

-+-

" Mengapa aku memanggilmu dengan panggilan kakak semalam?"

Pertanyaan tersebut Alena ucapkan tepat gadis itu bangun dari tidur, gadis itu dengan tampak serius menatapnya yang kini tengah duduk di kursi sofa kamar milik gadis itu dengan ditemani secangkir kopi panas di pagi yang cerah ini.

Dia menghela nafas, sudah lama sekali Ryan tidak lagi mendengar panggilan itu terucap dari mulut Alena sejak kejadian itu terjadi, kejadian yang telah mengubah Alena-nya menjadi terlihat tidak hidup.

Alena-nya, Ryan tertawa dalam hati. Begitu beraninya dia mengklaim gadis yang berusaha beranjak dari tempat tidur menjadi miliknya.

Ryan akui dengan perasaannya saat ini dia belum mampu mendapatkan Alena.

"Jawab pertanyaanku." Alena kini duduk disampingnya dan tanpa Ryan sangka ikut menikmati kopi dari gelas yang dia minum.

Seketika Ryan menyeringai, Alena benar-benar berubah. Gadis itu tidak sama seperti dulu, Alena sekarang bukan lagi Alena yang penuh dengan keterpurukan.

"Seharusnya aku yang bertanya, mengapa kamu memanggilku dengan panggilan kakak semalam?"

Riana mengecilkan kedua bahunya, "Aku memimpikannya," jawab gadis itu sekenanya kemudian mulai bersandar di sandaran sofa, "Dalam mimpiku, aku terus memanggil namamu di dalam sebuah gudang gelap."

"Anehnya lagi saat itu aku menganggap kamu sebagai kakak lelakiku," bibir Alena menyunggingkan senyum, "Padahal sekarang ini kamu berstatus sebagai kekasihku sekarang."

Ryan menarik pinggang Alena agar tubuh gadis untuk mendekat padanya, "Apakah kamu merasa jika mimpimu benar adanya?"

Alena mengangguk, "Kalau memang benar, mengapa tadi malam aku merasa takut ketika lampu padam?"

Gadis itu kini berani mengalungkan tangan pada leher Ryan kemudian menunduk, "Aku merasa jika ingatan Alena sedikit demi sedikit akan kembali."

Ryan terkekeh, "Sepertinya semalam aku tidak melihatmu minum alkohol, tapi sekarang ini aku merasa jika tingkahmu seperti orang mabuk." pria itu mendekatkan diri lebih dekat lagi pada wajah Alena hingga akhirnya dahi mereka bersentuhan.

"Kamu sudah melewati batas," gumam Alena tatkala Ryan dengan gerakan menggoda semakin mendekat pada wajah gadis itu.

Ryan tidak pernah sekacau ini, seharusnya dia bisa menahan diri sama seperti dahulu. Namun saat malam itu, tepat ketika Alena memanggilnya dengan panggilan yang dulu sering dia dengar, Ryan mulai merasa jika dirinya kembali seperti sedia kala, menjadi Ryan yang terus saja mencintai Alena secara sepihak.

Ciuman ini tidak sama seperti sebelum, Ryan melampiaskan semua kerinduan pada sosok Alena yang ada di dekatnya, Alena yang begitu dia damba.

Alena membalas ciuman Ryan dengan penuh kelembutan, berusaha menahan gejolak yang bersarang di diri pria ini. Sesaat Ryan ingin sekali detik waktu berhenti, menyisakan dirinya yang sedang melepaskan kerinduan pada sosok yang ingin dia gapai.

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang