Part 9

3.3K 322 8
                                    

Riana sudah selesai memasak makan malam tepat disaat Ryan memasuki apartement. Sudah menjadi keharusan jika Ryan haru pulang cepat, itu aturan yang dibuat Riana agar dia tidak merasa kesepian, separah apapun kesibukan Ryan, pria itu tidak boleh pulang larut malam. Beruntungnya Ryan tidak menolak dan menyanggupi aturan yang dibuatnya.

"Kamu tidak keberatan makan makanan berat pada malam hari?" Riana tersenyum sembari meletakkan panci berisi aneka seafood yang ditumis dengan saus racikannya sendiri di atas meja. Selanjutnya dia menghidupkan televisi dan memutar drama luar negeri yang ditayangkan di salah satu channel.

Setelah melepaskan jas dan menaruh tas kerja di kamar kemudian berjalan menuju ruang keluarga, tempat dimana Riana menunggu dengan masakan yang gadis itu buat. Malam ini memang tidak seperti biasanya, mereka memilih untuk makan sembari menonton televisi untuk meredakan kesunyian malam.

"Kamu tidak duduk di sofa," Riana menatap Ryan yang memutuskan duduk disampingnya sembari membuka penutup panci. Asap langsung keluar dan mengepul membuat mereka harus mengibaskan tangan di atasnya agar asap tersebut hilang.

"Kamu sendiri, mengapa tidak duduk di sofa?" tanya Ryan.

Riana menggeleng, "Lebih nyaman duduk di lantas seperti ini"

"Kalau begitu jawaban kita sama"

Riana berdecih namun kemudian gadis itu tersenyum di saat Ryan menyerahkan sepiring seafood padanya.

"Aku pria yang romantis, bukan?"

"Meletakkan lauk di piring kamu anggap romantis?"

Ryan mengangguk bangga, "Aku tidak pernah melakukannya untuk orang lain," pria itu menaruh lauk untuk piringnya sendiri kemudian menyantapnya. Tanpa mempedulikan Riana yang sedikit kaku akibat ucapan yang baru saja pria itu layangkan.

Oh tidak, kenapa hanya karena perhatian kecil ini bisa membuat pipi Riana memerah.

"Di luar masih hujan?" tanya Riana berusaha meredakan kegugupan yang dia rasakan, pandangannya beralih pada gorden jendela yang sengaja dia tutup. Selama di masa ini ketika hujan turun maka Riana akan menutup gorden agar dia tidak secara jelas melihat kilat.

"Sepertinya masih," Ryan beranjak kemudian melangkah menuju jendela, membuka sedikit gorden untuk memastikan apakah hujan masih turun, "Sangat lebat, sepertinya aku harus menemanimu tidur malam ini."

Argh, mengapa Ryan malah menambah kegugupan Riana. Memang benar, ketika hujan turun dengan lebat akan ada petir yang menemani, namun hal tersebut jarang terjadi.

"Sepertinya tidak akan ada petir." Riana menggelengkan kepalanya, "Kamu tidak perlu menemanimu tidur."

"Bagaimana jika ada petir?"

"Aku akan memanggilmu kalau begitu, lagipula kamar tidurku tidak kedap suara."

Riana menggenggam erat kedua tangan miliknya, matanya masih memandang kearah Ryan yang masih saja berdiri di dekat jendela.

"Aku ingin menanyakan sesuatu, duduklah."

Menuruti perkataannya Riana, Ryan akhirnya kembali duduk di sampingnya.

"Apakah kamu ingin menjelaskan mengenai arti mimpiku beberapa hari yang lalu? mengenai aku yang menganggapmu sebagai kakak kala itu."

Pertanyaan Riana sukses membuat Ryan nyaris tersedak. Pria itu terbatuk dan dengan cepat langsung meneguk air mineral yang ada di dekatnya.

"Kamu terkejut?" tanya Riana.

"Siapa bilang aku terkejut?"

Riana hanya menggeleng kemudian tersenyum, "Kembali lagi tentang pertanyaanku, apakah kamu ingin menjawabnya?"

Ryan mematung di tempat, pria itu terlihat menggenggam gelas yang sudah kosong dengan erat seakan ingin menghancurkan gelas tersebut berkeping-keping. Riana sepertinya salah, bukan saatnya dia menanyakan hal ini, seharusnya mereka menikmati malam bukan menambah ketegangan malam.

"Aku pertama kali bertemu denganmu di panti asuhan milik keluarga mama."

Riana tercekat, bibirnya yang terus saja tersenyum kini memudar.

"Kamu adalah salah satu anak penghuni di panti asuhan itu, entah karena alasan apa aku bisa dekat denganmu yang jelas aku ingat ketika pertama kali bertemu, kamu saat itu memberikanku sekantung kue kering buatan ibu panti. Kedekatan kita terjalin hanya sampai delapan tahun, kami terpaksa pindah ke Kuala Lumpur karena papa memiliki urusan pekerjaan disana dan tidak bisa ditinggalkan dalam kurun waktu lama."

"Setelah beberapa tahun kemudian, tepat ketika aku menjadi CEO di perusahaan papa. Aku kembali mengunjungimu di panti asuhan. Namun yang kudapati hanya sebuah bangunan tua yang dipenuhi bekas kebakaran." Ryan melanjutkan.

"Kebakaran?"

"Untungnya ada seseorang yang mengetahui keberadaanmu, aku langsung saja menemuimu saat itu. Tetapi sekali lagi aku merasa kacau ketika mendapati jika Alenaku yang dulu tidak sama seperti sekarang. Kamu terlihat pucat dan terlihat tidak hidup sampai aku mendapti fakta jika kamu mengalami trauma yang cukup dalam akibat kematian ibu panti akibat kebakaran. Mengetahui hal itu, aku langsung menghubungi mama dan meminta bantuan padanya."

Riana mendekap tubuh Ryan dikala pria itu tersenyum, Riana sangat tau jika senyum Ryan kali ini berbeda dari senyum yang sering diberikan pria itu padanya. Senyum ini tersirat kesedihan dan rasa bersalah begitu dalam.

Oh tuhan, jika seperti ini bagaimana bisa Riana meninggalkan Ryan sendiri. Dia tidak sanggup jika membayangkan bagaimana sedih dan kesepian yang pria itu rasakan nantinya jika dia tidak ada.

Mengapa takdir bisa sekejam ini.

"Mama menyarankan aku mendekatimu dan menjalin hubungan denganmu. Sangat sulit sekali melakukannya karena kamu yang dulu sangat sulit untuk merespon, hingga aku perlahan-lahan mulai lelah dan bersikap diluar batas dengan melayangkan kata-kata yang dapat menyakiti perasaanmu."

Riana merasa tercekik, hanya karena Alena Ryan bisa tersiksa seperti ini. Hanya karena gadis yang tidak mampu meraih dan menggenggam Ryan selamanya.

"Maafkan aku." hanya kalimat itu terucap di mulut Riana, seketika tempat ini terasa sunyi, hanya ada suara tv yang memenuhi apartement.

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang