"Ginny," Harry memasuki kamarnya melihat Ginny sedang memandang keluar jendela. "Kau belum tidur sayang?"
Tidak ada jawaban dari Ginny. Harry mengecup puncak kepala Ginny dan memeluknya erat dari belakang, "Aku tau kau merindukan putri kecil kita."
Ginny berkata hampa. "Harry apa kau memiliki musuh? Apa ada orang yang membencimu?" pertanyaan Ginny membuat Harry heran.
Musuh besar Harry, Draco Malfoy kini sudah menjadi sabahat baiknya. Voldemort juga sudah lama mati. Harry tidak merasa memiliki musuh. "Kau kenal aku kan sayang. Kita sudah lama bersahabat dengan Draco. Aku sudah tidak memiliki musuh lagi. Tapi aku tidak tau apakah ada yang membenciku atau tidak. Kalaupun ada pasti itu para Death Eater yang aku masukan ke Azkaban."
Ginny membalikan tubuhnya. "Itu dia Harry," matanya berbinar. "Mungkin saja salah satu mereka dendam kepadamu dan mengincar anak-anak untuk membuatmu menderita."
"Ginny, darimana kau mendapatkan pikiran seperti itu?"
"Entahlah Harry. Mungkin ini salah satu resiko terbesar menjadi seorang Auror."
"Jadi kau menyesal menikah denganku?" Harry melepaskan pelukannya.
"Bukan seperti itu Harry," sergah Ginny. "Aku tidak bermaksud."
"Mungkin memang lebih baik kau tidak pernah bersamaku," Harry berseru pelan. "Sejak masih di Hogwarts pun aku selalu membuatmu dan keluargamu menderita."
"Hentikan Harry. Aku tidak bermaksud begitu. Aku selalu bahagia hidup bersamamu."
"Tapi kenyataannya kau selalu menderita sejak kecil karena aku Ginny." Harry sangat bersalah karena gagal membuat Ginny bahagia.
"Harry..." jerit Ginny saat Harry meninggalkan kamar mereka.
***
"Harry," panggil Teddy saat Harry memasuki dapur dan duduk di kursi dekat Teddy. "Apa apa Harry?
"Teddy, apa menurutmu aku ini pembawa sial?"
"Apa?" Teddy tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Kau tau kan selama ini semua orang didekatku selalu mengalami nasib buruk."
"Tapi aku tidak. Aku malah merasa beruntung bisa hidup bersamamu," Teddy berusaha membesarkan hati Harry. "Tanpa dirimu aku tidak mungkin merasakan kasih sayang orangtua."
"Tapi orangtuamu mati karena menolongku,"
"Walaupun mereka tidak menolongmu, mereka pasti juga akan mati disaat yang lain," usia Teddy memang baru enam belas tahun, tapi Harry sadar sikap Teddy sudah jauh lebih dewasa dibandingkan penampilannya.
"Aku kehilangan kedua orangtuaku karena ramalan bodoh. Aku kehilangan Sirius karena ia mencoba melindungiku. Aku membuat sahabat dan teman-temanku menderita karena mereka ingin menyelamatkanku. Terlalu banyak orang yang tidak bersalah mati demi aku," tiba-tiba Harry mengingat perkataan Lily di malam sebelum Lily menghilang.
"Ya ampun!" menarik rambutnya dengan kasar. "Mungkinkah Lily memiliki firasat bahwa ia akan pergi?"
"Apa yang terjadi Harry?" Teddy penasaran.
Harry menceritakan percakapannya dengan Lily di malam terakhir mereka bersama. "Padahal aku sudah berjanji tidak akan membiarkanya dalam bahaya, tapi aku malah membuatnya terluka hanya kurang 24 jam dari setelah aku berjanji padanya." Harry megebrak meja karena merasa sangat bodoh. "Mungkin semua yang terjadi sebelum kita berangkat, kita masih diberikan kesempatan untuk tidak melanjutkan perjalanan."
Teddy terdiam mendengar ucapan Harry.
"Kenapa aku tidak menyadarinya. Mungkin sewaktu Ginny mendapatkan panggilan dari kantornya, saat itu seharusnya kami tidak melanjutkan perjalanan. Sejak berpisah dengan Ginny, Lily terus menerus merengek untuk bertemu Ginny. Mungkin ia tau kalau akan ada hal buruk yang menimpanya, kerena itu dia sangat rewel. Dan sebelum perahu James dan Al terbalik, Lily sempat bilang ia sangat takut tidak akan bertemu dengan Ginny dan kau lagi", air mata Harry kembali mengalir. "Bodohnya aku yang tidak paham keadaan."
Ginny memasuki dapur dengan bekas air mata masih menempel dipipinya. "Harry, aku mohon berhentilah menyalahkan diri. Aku sendiri juga bersalah karena tidak membawa Lily bersamaku." Seru Ginny yang sejak tadi menguping pembicaraan suami dan anak angkatnya. Harry tidak merespon.
"Teddy, bisakan kau pergi ke kamarmu dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan ayahmu," Ginny berkata kepada Teddy.
Teddy menurut dan Ginny menghampiri Harry. "Tadi pagi James bercerita melihat seorang mengawasi Lily, namun karena jaraknya mereka terlalu jauh James mengira hanya salah lihat."
"Kenapa James baru bercerita sekarang?" Harry tidak mengerti.
"James tidak melihatnya dengan jelas. Dia hanya mengira itu hanya perasaannya saja."
"Apa kau tau bahwa hilanganya Lily berhubungan dengan dunia sihir?"
"Entahlah Harry. Aku sendiri tidak mau percaya Lily mati karena binatang buas. Aku sangat yakin, putri kita masih hidup. Aku masih bisa merasakannya, aku masih bisa mendengarkan tangisannya," sekali lagi air mata Ginny mengalir. Harry memeluk dan mengusap punggung Ginny. Ini adalah cobaan terberat dalam rumah tangga mereka.
"Mungkin dugaanmu benar. Mungkin memang ada yang dendam denganku," seru Harry pelan, ia pun menceritakan bahwa sebuah sihir terdeteksi saat penyelidikan hilangnya Lily. "Besok pagi aku akan kembali lagi ke perkemahan itu. Aku akan menyelidiki sendiri apa yang terjadi pada Lily."
"Harry, aku minta maaf jika tadi perkataanku meyakiti hatimu."
"Kau tidak bersalah sayang. Hanya saja aku merasa tidak pantas untukmu. Aku selalu membuatmu menderita," Harry megusap air mata Ginny.
Ginny menggeleng, "Kau adalah keajaiban untukku."
"Keajabain sebenarnya adalah Lily kecil kita," Harry mengelus wajah Ginny sambil berseru," Kenapa dia hadir dan pergi tanpa tanpa terduga."
***
TBC
YOU ARE READING
Derelict
FanfictionTerinspirasi dari Film The Shack, semua karakter punya Tante Jo. James dan Albus Potter bertengkar di danau sehingga keduanya tergelincir. Harry yang saat itu tengah menemani putri bungsunya langsung berlari untuk menyelamatkan mereka berdua dan men...