🍁2. Makan Malam🍁

41 13 5
                                    

"Dengan membuat orang tersenyum, setidaknya kita paham makna bahagia itu sendiri seperti apa."

-----------------🍁🍁🍁🍁🍁🍁------------------

Hari ini adalah hari minggu, hari libur sekolah bagi Lintang Dyniar Eldyara. Setiap hari minggu Lintang melakukan aktivitas lari pagi berkeliling komplek perumahannya. Entah mengapa hari ini matahari terasa sangat cerah. Cahayanya menusuk langsung ke pori-pori, tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Matahari seperti tersenyum kepada Lintang.

Setelah selesai lari pagi, biasanya Lintang pergi ke makam ayahnya di tempat pemakaman umum komplek perumahannya. Ia biasanya mencurahkan segala isi hatinya dan masalah yang ia hadapi di depan makam ayahnya tersebut. Itu lebih dari cukup untuk mengobati rasa rindu terhadap ayahnya selama ini.

Lain lagi dengan Kevin dan Jihan. Ketika hari minggu mereka berdua menonton anak-anak remaja bermain basket di lapang komplek yang berada tidak jauh dari rumahnya. Karena kondisi kaki Kevin yang patah, jadi dia hanya bisa menonton, padahal dia ingin sekali bermain. Sedangkan Jihan, dia hanya diperintahkan Maryam untuk menemani Kevin nonton basket, dia sama sekali tidak mengerti basket. Jihan selalu membawa boneka beruang kesayangannya untuk menemani dirinya ketika Kevin sibuk mengomentari pertandingan basket para anak-anak remaja itu.

“Ayo-ayo, Kak. Oper bolanya, Kak, oper!” seru Kevin dengan semangat.

Tapi para remaja yang bermain tidak mengopernya, dan bola pun tidak masuk.

“Ah, kenapa Kakak enggak ngoper, bagaimana si?” pekik Kevin kecewa.

“Heh, anak pincang! Kalau lo ngerasa jago, maen sendiri sini.” Salah satu remaja di sana angkat bicara. Kevin ditertawakan oleh seluruh anak yang bermain basket di sana.

“Kalau saja kaki aku enggak kaya gini, aku pasti udah ikut main,” lirih Kevin dengan wajah yang sangat masam. Ia merasa terhina  oleh perkataan kakak-kakak itu.

“Halo Guy, halo Girl.” Tiba-tiba saja ada seorang remaja datang dari belakang Kevin dan Jihan dan langsung duduk di tengah-tengah mereka, “Oh, halo juga boneka.” Remaja itu menyolek dagu boneka yang dipegang oleh Jihan, “Nama Kakak Banyu, kalau kalian?” tanya remaja itu ramah.

“Ibu bilang, enggak boleh bicara sama orang asin,” cetus Jihan sambil menjauhkan boneka dari Banyu.

“Asing Jihan, bukan asin,” sahut Kevin menimbali.

Remaja itu terkekeh, "Kakak bukan orang asing kok, rumah kakak ada di depan rumah kalian, tuh,” ujar Banyu sambil menunjuk rumahnya di seberang jalan.

“Kakak bohong, itu kan rumah kakek-kakek yang sudah mulai pikun,” ucap Kevin.

“Itu pamannya Kakak loh,” jawab Banyu sambil tersenyum.

Kevin menutup mulutnya, menyesali perkataanya.

“Kak Kevin enggak boleh asal bicara makanya,” kata Jihan.

“Ok enggak papa, Kakak maafkan.”

“KEVIN! JIHAN! PULAANG!!” Terdengar suara Maryam dengan sangat keras memanggil Kevin dan Jihan untuk segera pulang.

Banyu, Kevin, dan  juga Jihan menutup telinganya rapat-rapat.

“Suara siapa sih itu? Kenceng banget kaya toa mushola,” cerca Banyu.

“Itu suara nenek kami, Kak.” Kevin tersenyum sinis.

“Upss, Sorry.” Banyu berdiri, “Ok, kalian ikut Kakak,” ajak Banyu, kemudian mereka berjalan mendekat ke sumber suara tersebut.

CollapseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang