Aku mengusap kasar wajahku berharap ucapan Bindra tak memenuhi indra pendengaranku. Suaranya seperti terngiang-ngiang ditelingaku. Aku menggeleng keras sampai kepalaku pusing.
"Beqi?"
Mami memanggilku dengan tatapan aneh tertuju padaku.
"Mami sudah pulang?" aku mengambil kantong plastik ditangan mami.
"Iya, pasar baunya makin menjadi. Mami tak sanggup lama-lama disana."
"Tak sanggup lama-lama disana tapi bawa belanjaan dua kantong plastik sebesar ini ya, Mi?" sindirku. Kadang Mami terlalu drama.
"Itu belum terbeli semua. Mami tadi buru-buru."
Aku mendengus, lebih baik mengiyakan saja. Aku masuk kedalam rumah mengikuti Mami lalu meletakkan dua kantong plastik itu diatas meja makan.
"Tumben Beqi pulang cepat?"
"Iya."
"Bisnya ngebut ya?" Mami memasukkan sayuran kedalam kulkas.
"Aku diantar." aku mengambil sebuah apel dan memakannya tanpa mencucinya. Jangan ditiru!
"Diantar siapa?"
"Teman."
"Siapa? Biy? Byuna? Atau Dotie?" Dotie atau Bodot tetangga yang rumahnya bersebelahan denganku.
"Bukan. Teman baru."
Mami memasukkan telur pelan-pelan, mimik wajahnya seperti berpikir.
"Teman baru yang mana?"
"Teman baru yang Mami tidak kenal."
"Kalau begitu kenalkan pada Mami."
"Iya lain kali saja."
"Laki-laki? Apa perempuan?"
"Laki-laki."
"Tampan?"
"Menurutku tampan."
"Seleramu tidak buruk. Berarti memang tampan. Apa ada kemungkinan dia bisa jadi kekasihmu?"
Aku membuang sisa apel kedalam tong sampah. Aku malas sekali menjawab pertanyaan Mami karena pasti akan berujung membahas...
"Jangan terlalu lama bersenang-senang. Segera minta dia melamarmu. Ya?" Mami sangat girang sambil membelai wajahku dengan seikat sawi sebelum memasukkannya kedalam kulkas.
"Kita hanya teman."
"Jodoh siapa yang tahu."
"Tidak mungkin." aku menggeleng yakin.
Mami menatapku jengah. "Lalu kapan kau akan menikah hah? Mami sudah sangat ingin menimang cucu?"
Aku manyun melihat Mami memperagakan menggendong bayi. Astaga!
"Mi, jika sudah saatnya aku menikah aku pasti akan menikah."
Mami lagi-lagi mendengus. "Aku bosan mendengar alasan klasikmu. Bodot saja mau menikah, lalu kau kapan?!"
Aku mengedikkan bahu. Aku malas debat dengan Mami. Sebenarnya ini alasanku saja, aku sensitif dengan topik ini.
"Tenang saja, Mi. Kau akan dapat menantu yang baik dalam segalanya. Termasuk yang kaya raya."
Mami tertawa dan memberiku dua jempol. Astaga orang ini.
Aku tak menggubris Mami, aku lelah ingin segera tidur. Aku merebahkan diri diatas ranjangku yang spreinya mulai bau. Aku malas menggantinya.