Jangan Benci Hari Senin

63 2 0
                                    

Awal saya menyukaimu
Karena
Hampir setiap pagi saya selalu bertatap bertemu
Melihatmu, bagai tercipta warna yang nampak menyeramkan

Pagi ini adalah kali pertama saya menghirup aroma wangi
Menyesap isi gelas, yang disebut-sebut dengan kopi

Bagai rindu
Aromamu membawa candu
Tak bisa aku tak menatapmu barang sekali sehari
Karena kalaulah awal kali aku menemukan pagi
Bukan hanya sebagai ilusi
Tetapi, sejati

Barangkali, pagi nanti aku akan bangun lebih awal
Menyiapkan kopi, untuk seseorang yang akan tetap singgah di hati
Sampai nanti, sampai sunyi, dan sampai mati

"Huah." Terdengar helaan nafas diikuti dengan senyum yang memperlihatkan gigi kelinci dan lesung pipit seorang gadis yang sedang berdiri di panggung. Disauti dengan siulan dan tepuk tangan serta terdengar samar namanya disebutkan berkali-kali oleh seisi aula gedung A.

Sejak kapan hidupku seperti ini?

---

Bagian awal dari hari, yaitu Senin adalah hal yang paling membosankan bagi seluruh umat manusia, katanya. Mereka harus bangun lebih awal untuk melaksanakan aktivitasnya. Sekolah, kuliah, bahkan bekerja. Senin bagaikan momok bagi pemalas karena Senin adalah awal setelah berakhir pekan. Tak terkecuali dengan Rana. Ia segera menyambar ponsel berwarna merah memantau arah waktu yang ternyata sudah menunjukkan pukul 06.12.

Rana! Budaya telat kok dipelihara. Bodoh
Telat kamu telat.
Aduh diam.

Berlari menuju kamar mandi, mengambil handuk, buru-buru, seruput kopi.

"Maaaa, aku berangkat."

Aku tidak mau mengulangi lagi, aku benci terhadap rasa malas yang tumbuh, nyaman dalam raga ini. Parasit!

Rana menarik nafas, begitu dalam. Jantungnya berdetak semakin cepat, suaranya memenuhi kepala. Badannya terhuyung-huyung.

Ini adegan kedua yang aku benci. Tidak ada yang ketiga dan seterusnya ya. Cukuplah.

---

Seusai mata kuliah pertama, dia segera keluar kelas dan berjalan menuju gedung Pascasarjana. Entah mengapa jarak gedung A ke Pascasarjana begitu menyebalkan. Jauh. Seperti dia yang belum mampu ku gapai.

Dia bukan mahasiswa S2, dia bukan asisten dosen, tetapi mata kuliah selanjutnya yang diambil, diampu oleh profesor yang juga mengampu kelas pascasarjana. Dan dia penanggungjawabnya. Maka dari itu, setiap hari Senin adalah awal yang sangat menguras energi. Bagaimana tidak? Selain dia harus berjalan, dia juga harus menghabiskan waktu di kampus dari fajar hingga petang.

Sesampainya di gedung Pascasarjana, Rana melangkahkan kakinya agak cepat karena melihat pintu lift segera tertutup. "slip" oh shiiiit! Naik tangga menuju lantai 4?. Rana tidak terampil menunggu, baginya menunggu adalah pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Bagi Rana, menunggu sama dengan berharap. Berharap adalah berkeinginan untuk terjadi. Yang perlu digarisbawahi adalah kemungkinan yang tidak akan terjadi. Dia lebih memilih opsi kedua dan segera melangkahkan kaki ke lorong menuju tangga dan bergegas naik ke lantai 4.

---

Rana mengetuk pintu tok tok "permisi Prof."
"Masuk Rana. Bawa flashdisk?"
"Sebentar Prof." Ia segera merogoh dan mengambil flashdisk yang ada di kotak pensil dan segera diserahkan kepada Profesornya.
"Nah, ini saya copykan tugas untuk hari ini, nanti kamu bagikan ya. Hari ini saya izin tidak mengajar."
"Baik Prof, dikumpulkannya ha. . ." Ia belum menyelesaikan kalimatnya.
"Di bahas minggu depan ya Rana. Ini. Terima kasih"
"I-iya Prof, terima kasih."

---

Ting
Ting
Ting
Ting
Rana segera mengambil ponsel merahnya, memasukkan passcode, dan membaca notifikasi yang masuk. Tanpa membalas, ia langsung memasukkan kembali ponselnya ke dalam totebag sembari melangkahkan kaki menuju gedung A. Sesekali dia mengecek kembali ponsel, membuka twitter, membaca trending, menyapa dosen, OB, dan teman yang berpapasan di jalan. Rana cukup dikenal di jurusan dan fakultas, bahkan di kalangan dosen. Tapi dia tidak mudah bergaul. Bukan karena sombong, baginya terlalu sering berkumpul dengan orang adalah hal yang melelahkan.

Sebelum Rana kembali ke kelas, langkahnya terhenti di depan perpustakaan, lagi-lagi ia merogoh totebagnya dan mengambil catatan berwarna biru muda yang selalu dibawa kemana-mana. Ponsel merah dan catatan berwarna biru muda ini sudah seperti sahabat, bahkan separuh jiwanya. Dia bisa tidak tidur semalaman apabila catatan ini tertinggal di kos teman kuliahnya--dia sering menumpang atau di meja kampus. Maklum, Rana pelupa. Di sampulnya tertulis "selesaikan apa yang dimulai, tak apa lama tetapi selesai, daripada menyesal jika terbengkalai". Dia melihat daftar buku yang harus dipinjam.

Segera dia langkahkan kaki memasuki gedung yang hampir seluruhnya dilapisi cat warna putih itu. Peraturan masuk perpustakan adalah tidak boleh membawa tas. Dia kembali merogoh totebagnya mengambil kartu anggota perpustakaan dan membawa beberapa hal yang diperlukan untuk dibawa masuk. Setelah dia mescan kartu anggota, dia menuju ke lantai dua. Ini adalah susasana yang dia suka. Selain sunyi--hanya suara langkah kaki, mahasiswa yang membalik lembar-perlembar kertas, dan ketikan di laptopnya, yaitu aroma buku yang tidak pernah ingkar janji.

Dia menelusuri rak satu ke satunya, lorong satu ke lorong selanjutnya, dan sesekali berhenti, teralihkan fokusnya kepada buku yang terselip diantara jejeran buku Bahasa. Sedangkan buku ini kategori sastra. Bagaimana mungkin pustakawan salah meletakkan? Dasar tidak teliti gumamnya sambil mengambil buku itu. Pulang - Leila S. Chudori. Novel yang berlatar belakang mengenai tiga peristiwa bersejarah di Indonesia. Kau tahu tidak?

"Ran"
Terdengar suara lirih memanggil namanya "Rana". Rana masih melirikkan pandangannya ke kanan dan ke kiri dengan waswas.
"Hei, ngapain? Kayak maling ketangkep aja." Ucapnya menghampiri sambil menepuk pundak Rana. "Eh enggak, ekspresi kamu tuh kayak ketahuan, oh jadi Rana yang selama ini pinjem buku ga dibalikin?" Hahahah.
"Apasih Pam. Kamu sendiri ngapain di sini?"
"Berak"
"Bodoh"
"Sudah jelas ini perpustakaan"
"Bolos mata kuliah?"
"Tidur"

---

Pramudya. Aku memanggilnya Pam. Bukan panggilan kesayangan. Bukan karena menyukainya, dan bukan apa-apa. Bagiku Pramudya tidak ada pada dirinya. Pramudya yang berarti kepintaran atau hikmat dalam Bahasa Sansekerta, dan Pramudya yang berarti bijaksana dalam Bahasa Jawa sama sekali bukan Pam. Sosok manusia ini bukan teman sekelasku. Aku bertemu dengannya di hari Senin. Bukan senin ini. Tepatnya Senin saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kampus ini. Senin penuh keputusan. Senin penuh pertimbangan. Senin awal aku memiliki pengalaman, bahkan pelajaran yang tidak akan pernah bisa diulang.

Pam bodoh, suka bolos mata kuliah, tidak bisa mengambil keputusan--aku tahu, karena selalu aku yang memilih harus kemana langkah kakinya diinjakkan bahkan semester ini dia mengulang dan suka merepotkan. Tetapi, tetap saja aku mau memarahinya jika tugas kuliah tidak dikerjakan. Namun, kelebihan Pam adalah selalu ada. Entah tujuan dia apa. Tetapi, setiap hari aku berterima kasih kepada Tuhan. Telah mempertemukanku dengan Pramudya.

---

SentanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang