Happy Reading!
Keziara Eftychia. Remaja biasa dengan segala impian besarnya. Cerewet, hiperbola, menyebalkan adalah karakternya yang paling menonjol. Menulis dan membaca, hobinya. Mirisnya, kecerdasan intelektualnya tertutup oleh tingkahnya yang tak lazim.
Berjalan riang menyusuri jalanan kota, Kezia memasuki kawasan gedung sekolah barunya. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi, yang artinya, KBM sedang berlangsung. Bukan terlambat, ia memang diminta datang jam segini. Lagipula, datang cepat atau lambat, takkan diperhitungkan, karena ia adalah calon siswi baru--pindahan.
"Eh, ini harus kemana dulu?" Menggaruk pelipis, Kezia memandang bingung sederet gedung tinggi di depannya.
Kepalanya menengok kanan-kiri, depan-belakang, tak ada siapa-siapa. Dimana pos satpam?
Gadis yang akrab disapa Jia itu menepuk dahinya seketika, "Sial! Pos satpam kan di depan jalan masuk, kelewat, aish!" umpatnya.
Mengembuskan napas, dengan penuh tekad ia mulai melangkah ke gedung yang paling kanan. "Periksa-periksa aja dulu. Siapa tau bener," gumamnya, berharap.
Jia mulai memasuki pintu utama gedung itu yang ternyata adalah lobi. Harapannya makin kuat, "Pasti ada yang jaga. Tanya, ah," ucapnya,pelan. Sayangnya, lobi kosong.
Menghela napas, dengan sedikit kesal, ia mulai menjelajahi koridor lantai 1 gedung tersebut, tanpa melihat papan besar bertuliskan Asrama Putra Alegre Senior High School di atas pintu masuk utama.
Lama berjalan, ia tak kunjung menemukan batang hidung satu orang pun. Samping kiri-kanannya hanya ruangan tertutup, yang ia pun tak tahu ruangan apa itu.
Namun sepertinya kesialan tak berlangsung lama, karena ia melihat seorang pria berkumis berjalan berlawanan arah dengannya, sambil mengecek satu persatu ruangan tersebut.
Segaris lengkungan terbit di bibir Jia. Niatnya ingin menghampiri bapak itu untuk bertanya, namun urung saat sebuah tangan kekar menarik lalu memojokkannya. Kejadian yang sangat tiba-tiba itu membuat Jia tersentak dan tak sempat melawan. Baru setelah ia sadar, digigitnya tangan yang menutup mulutnya. Saat akan berteriak, lagi-lagi mulutnya dibekap, lalu orang itu menyeretnya masuk ke dalam kamar mandi dekat sana.
"Jangan berisik, kalo mau selamat." cowok itu memperingatkan.
Jia memandang cowok itu sengit. Dengan tangan di depan dada, Jia berseru galak, "Jangan macem-macem lo!"
Cowok didepannya terlihat menahan tawa, tanpa meresponsnya. Ia menatap Jia, sepertinya gadis ini salah mengartikan ucapannya.
Lama saling tatap, Jia melambai-lambaikan tangannya di depan cowok itu, "Woy! Bisu lo, ya?" tanyanya, lugu.
Cowok itu memutar bola mata, lalu mengulurkan tangan. "Gue Davian," ucapnya.
Jia memandang tangan Davian ragu. Merasa tak mendapat respons, Davian berniat menarik tangannya, tetapi secepat kilat Jia menjabatnya kembali. "Kezia, panggil aja Zia." ujarnya.
Davian mengangguk, "Ngapain disini?" tanyanya, heran. Sejak tadi ia memang memperhatikan Jia, namun urung menampakkan diri. Baru setelah melihat Pak Bardjo, ia menarik cewek itu.
Pak Bardjo adalah pengawas asrama putra di Alegre Senior High School (ASHS). Beliau terkenal garang, dan tak memberti toleransi kepada siswa yang kedapatan membolos di kamar asrama dan siswi yang kelihatan berkeliaran di sekitar asrama laki-laki. Guru sekalipun--jika ia adalah wanita, dilarang mampir ke asrama lelaki tanpa izin darinya dan maksud yang jelas.
"Gue?" gadis itu bertanya linglung.
Davian mendengus, "Bukan. Dinding belakang lo," Dengan segera Jia menyingkir, agar tak menutupi dinding. Davian berdecak sebal. "Lo. Lo yang ngapain disini, bukan dinding." tukasnya.
Jia terkesiap, "E-eh? Emang kenapa?"
Gemas. Davian menyentil dahi Jia, "Jawab, bege! Jangan balik nanya." kesalnya.
"Nyari ruang kepala sekolah." Mendengar jawaban jujur Jia, seketika tawa Davian pecah.
"Heh! Ruang kepsek ya ada di sekolah, lah! Ngapain lo cari kesini? Ini asrama cowok."
Jia kikuk. "Ya kan gue nggak tau," ucapnya agak malu.
Davian menghentikan tawanya. "Anak baru?" Jia mengangguk. "Pantes," komentar Davian.
Cowok itu lalu menengok keluar, memastikan bahwa Pak Bardjo sudah pergi atau belum. Setelah dirasanya Pak Bardjo sudah tak ada, segera ia menarik tangan Jia keluar dari sana. "Ayo, gue anter."
Davian membawanya ke gedung sekolah--yang sebenarnya, melalui pintu belakang asrama. Kebetulan sedang tidak dijaga. Selama perjalanan, mereka banyak bertukar cerita. Davian yang mengatakan tentang Pak Bardjo, dan Jia yang bertanya hal yang tak ia mengerti.
"Gue narik lo tadi karena ada Pak Baryo. Kalo dia liat lo di sana, gue gak jamin lo masih bisa diterima jadi siswi. Begonya, lo malah mau nyamperin dia," Davian bercerita sambil geleng-geleng kepala. Beruntung saat ini sudah waktunya istirahat, jadi mereka bisa leluasa berkeliaran di sekolah.
"Ya tapi kan nanti gue jelasin, biar dia ngerti. Lagian kalo gue tau, mana mungkin gue kesana," elak Jia, merasa ganjal dengan tuturan Davian.
Davian memutar bola mata malas, "Di kamus Pak Baryo, guru selalu benar, murid selalu salah. Apapun alasannya, namanya nggak ada pihak yang dukung lo, lo bakal tetep salah." jelasnya. Gadis itu manggut-manggut.
Tak terasa, mereka telah tiba di depan ruang Kepala Sekolah. Davian berpamitan untuk kembali, sedangkan Jia segera masuk ke dalam ruangan.
- - -
To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Oxygen
Teen Fiction"Mengenalmu, adalah keberuntungan terbesarku." Ini bukan tentang cowok most wanted yang bertemu gadis menarik. Bukan pula gadis cuek yang dikejar laki-laki playboy. Ini hanya sepenggal kisah, tentang Davian dan Kezia. Davian bukan cowok yang kelewa...