Happy Reading!
Kezia, Diana, dan Davian meringis. Zidan bersikap acuh. Sedangkan Gama sibuk mengusap-usap bokongnya. Tadi, setelah berteriak teramat kencang, Zidan refleks menendang Gama hingga jatuh terduduk di atas lantai. Gama jelas marah. Dan bukannya meminta maaf, Zidan malah menyahut dengan santainya, "Salah sendiri ngalangin jalan." Sungguh mulia bukan, Zidan ini?
"Bangsat pantat gue. Anjing lo, Dan!" Seirama dengan tangannya yang terus mengusap bokong, mulutnya pun juga tak henti-hentinya mengoceh.
Kezia meringis melihatnya. "Aduh Gama, maafin gue ya," ujarnya tiba-tiba. Semua memandang Zia bingung. Zidan yang salah, kenapa dia yang minta maaf?
Gama menatap Zia kesal. "Diem deh lo! Dasar tepos." Omelnya, ngegas.
Seketika Zia memandangi tubuhnya dari bawah hingga atas, dengan bibir mengerucut sebal. "Gue emang nggak semontok Mbak Mia, ya tapi nggak usah ngehina juga dong!" Kezia protes. Gama mendengus, "Siap-,"
"Kenapa lo minta maaf?" Diana buka suara, memotong perkataan Gama.
Kezia menoleh, "Ya kan Zidan tendang Gama karena dia ngalangin pintu. Nah, Gama ngalangin pintu kar-,"
"Mingkem." Davian menginterupsi.
Kezia protes, "Gak bisa gitu, Davi! Gue harus jelasin kesalah-pahaman ini sejelas-jelasnya sup-,"
"Berisik! Nih ambil barang-barang lo-," Gama melempar barang Zia yang tadi ia bawa, "sama-sama. Habis ini jangan repotin gue lagi!" Ketus Gama, berjalan tertatih keluar dari kamar Zia dan Diana.
"Makasih Gam!" Zia berteriak, meskipun ia tidak tahu apakah Gama mendengarnya atau tidak.
"Eh, kalian-," Zia mengalihkan pandangan ke arah Davian dan Zidan, tersenyum ceria, "makasih, ya! Barangnya taruh situ aja. Maaf udah ngerepotin. Janji deh, kapan-kapan gue minta bantuan lagi," celotehnya riang. Davian dan Zidan saling pandang. 'Cewek gak tau malu.' ucap keduanya dalam hati.
"Sama-sama. Janji deh, kapan-kapan gue nggak bantuin lo lagi." Balas Davian lalu pergi diikuti Zidan.
Kezia mencak-mencak setelah mereka pergi. Bibirnya mengerucut sebal. "Ck, terang-terangan banget sih ngebenci gue!" Omelnya tak jelas. Diana melirik Kezia sekilas, lalu sibuk dengan ponselnya.
"Eh, tapi gak papa deh. Ini kedua kalinya Davi tolongin gue-," Ia berceloteh sambil tersenyum seperti orang gila, "mm ... Pokoknya, kalo sekali lagi Davi tolong gue..." Zia menggantung ucapannya. Diana yang sejak tadi menguping, seketika greget.
"Kenapa emangnya?" Diana bertanya penasaran.
Gadis itu menoleh, "Menurut lo gimana, Di?" Diana mengendik acuh.
"Ketiga kalinya Davi tolong gue, gue anggap dia jodoh gue." Kezia berkata dengan yakinnya.
Diana membulatkan mata saking terkejutnya. Apa Kezia gila?
"Dan saat hari itu tiba, detik itu juga, gue bakal jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama Davi."
Mata Diana makin terbelalak.
"And then, gue bakal ngejar Davi dan hidup bahagia sama Davi, selamanya. Hahahaha," lanjut Zia, diakhiri tawanya yang mirip nenek sihir di film Disney.
Fix, dugaan Diana 100% benar. Teman sekamarnya memang gila.
- - -
20.30 malam, dan baik Kezia maupun Diana, tak ada yang tertidur. Keduanya masih terjaga. Diana sibuk dengan ponsel, dan Kezia asyik membaca buku.
Akan tetapi, Zia seketika menutup bukunya saat teringat akan sesuatu. "Eh, Di," panggilnya.
"Hm," Diana membalas, tanpa mengalihkan fokusnya dari ponsel.
"Mm .. Gue mau nanya,"
Diana menoleh, memandang Kezia dengan satu alis terangkat. "Tumben izin," cibirnya.
Kezia tak menggubris. Ia mengubah posisi duduknya menghadap Diana. Kini keduanya saling berhadapan.
"Buruan mau nanya apaan, gue sibuk." Desak Diana, karena ia harus main game online dengan timnya, dan itu tak bisa diganggu. Kezia terdiam, ragu.
"Mm, itu,"
"Apaan Jiaaa, buruan ish!"
"Itu, kenapa disekolah ini wajib asrama?"
Kini giliran Diana yang diam. Wajahnya seketika murung. Sedetik kemudian, senyum kecut terbit di bibirnya.
"Lo kesini, keinginan lo sendiri atau disuruh orang tua?" Diana bertanya balik.
"Disuruh sih," Kezia menjawab meski bingung.
Lagi, Diana tersenyum ... kecut.
"Sekolah ini wajib asrama karena semua murid disekolah ini anak-anak yang terlantar. Gue akui, sekolah ini elite, muridnya pun dari kalangan atas semua. Rata-rata anak pejabat dan pengusaha sukses. Lo juga kan?"
Kezia mengangguk polos. Kakaknya memang seorang pengusaha besar, perusahaannya ada dimana-mana.
"Gue juga." Sahut Diana. Kezia mengernyit, "Bukannya lo-,"
"Yap! Bokap nyokap gue emang udah nggak ada. Tapi Aunty-Uncle gue masih ada. Kakek-nenek pun ada. Oleh karena itu gue ada disini. Dibuang."
Diana menarik napas, lalu melanjutkan, "Bukannya sombong ya. Tapi, keluarga gue bisa dibilang sangat kaya. Dulu bokap gue pengusaha tambang, nyokap gue chef, uncle dan kakek gue juga pengusaha. Mereka semua gila kerja. Dirumah sehari, di kantor setahun. Gue disekolahin kesini karena Mama-Papa gue meninggal. Mereka nggak mau repot-repot ngurusin gue, karena kerjaan mereka banyak. Yang mereka kasi cuman uang yang nggak ada habisnya. Tapi nggak papa sih, sama aja. Mau Mama sama Papa masih ada pun, tetep aja mereka nggak pernah peduliin gue. Yang mereka semua pikir cuma uang, uang, uang. Nggak pernah mikirin gue. Gue hidup gak pernah kekurangan uang, tapi nggak pernah juga dapet kasih sayang." Ia curhat panjang lebar. Kezia mendengar dengan seksama.
"Intinya, asrama ini dibuat khusus untuk anak-anak yang diterlantarin sama orang tuanya. Anak-anak yang orang tuanya sibuk sama kerjaan, dan cuma ngasih duit buat wakilin kasih sayangnya. Bahkan saat ujian, raport murid diambil sendiri. Jarang ada orang tua murid dateng kesini. Sekalinya ada, pasti anak yang orang tuanya dateng itu seneng banget. Fasilitas disini emang semua lengkap, karena para orang tua bener-bener nyiapin semua kebutuhan anaknya. Gue akui, mereka baik karena mau memenuhi semua kebutuhan anaknya, bahkan fasilitas disini malah berkelebihan. Tapi buat apa? Yang kita butuh bukan duit atau barang-barang mahal. Kita butuh mereka. Kita butuh mereka yang selalu ada. Kita butuh Mama buat curhat. Kita butuh Papa buat dijadiin benteng. Kita butuh mereka buat bantu kita nemuin jati diri, bukan uang mereka yang nggak terhingga." Diana bercerita panjang lebar.
Kezia manggut-manggut. Pantas saja Kakaknya ngotot agar Zia sekolah disini. Ternyata ia tidak mau repot-repot mengurus Zia. Ia tersenyum kecut.
'Plis, Zia. Sadar diri, lo cuma numpang hidup sama Kak Nicho.' Sekali lagi Kezia sadar diri.
Kezia menepuk pundak Diana, "Nggak usah curhat juga kali. Lo mah kalo emang pengen curhat, bilang sama gue. Dari tadi gue nggak konek tau. Jawaban lo nggak sesuai dengan pertanyaan gue," celetuk Kezia membuat Diana menatapnya kesal.
"Udah nggak usah sok kesel gitu deh sama gue. Yang penting kan hati lo lega, lagian gue sedikit ngerti kok. Intinya, semua murid disini orang tuanya sibuk kerja kan? Termasuk lo dan gue." Diana mengangguk. Tak dapat dipungkiri, pernyataan Zia memang benar.
"Udah ah ngga usah sedih-sedihan. Gimana kalo kita main?" Kezia mengalihkan topik.
"Main?"
Kezia mengangguk, "Iyap. Tapi bentar, gue panggil temen gue dulu."
Segera Kezia mengambil ponselnya, dan menghubungi Mauren serta Michelle. Ia meminta kedua temannya itu untuk datang ke kamarnya. Dan berhubung keduanya sedang gabut + malas mengerjakan tugas + butuh refreshing, mereka mengiyakan ajakan Kezia.
Tak lama, Mauren dan Michelle tiba di kamar Kezia dan Diana. Sebelum bermain, Mauren memesan makanan secara online untuk menemani acara kecil-kecilan mereka.
Berjam-jam mereka menghabiskan waktu bersama, Mauren dan Michelle pun pamit kembali ke kamar mereka.
- - -
KAMU SEDANG MEMBACA
Oxygen
Roman pour Adolescents"Mengenalmu, adalah keberuntungan terbesarku." Ini bukan tentang cowok most wanted yang bertemu gadis menarik. Bukan pula gadis cuek yang dikejar laki-laki playboy. Ini hanya sepenggal kisah, tentang Davian dan Kezia. Davian bukan cowok yang kelewa...