Bab 07 || Ketakutan

2.2K 100 9
                                    

“Lagi-lagi, lo yang menjadi pelindung gue.”
***

Malam ini mereka makan berdua, hanya suara dentingan sendok yang mengisi suara di ruang makan.

“Masakan lo enak juga,” puji Agatha.

“Enak, tapi paling lima menit lagi mulut lo berbusa,” celetuk Algi yang langsung mendapat lemparan jeruk dari Agatha.

Algi tertawa ringan, lalu mereka kembali melanjutkan makan malam. Usai makan malam, Algi mengambil piring-piring kotor dan menyucinya. Tetapi sebuah tangan mungil mencegahnya.

“Biar gue aja,” ujar Agatha.

“Nggak,” tolak Algi.

“Tadi lo udah masak, sekarang gantian gue yang cuci piringnya.”

Algi diam tak merespons.

Agatha berdecak sebal dengan makhluk es di hadapannya ini.
“BTW, lo nggak dicariin sama Mama lo? Jam segini belum pulang,” tanya Agatha.

“Nggak.”

“Hm, Al!” Panggil Agatha.

Algi menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Makasih ya, lo udah nemenin gue seharian. Maaf kalau ngerepotin,” ujar Agatha sambil mengambil piring yang sudah dicuci oleh Algi untuk menaruhnya ke rak piring.

Algi mengangguk.

Setelah selesai mencuci piring, Agatha kembali ke kamar dan Algi ke ruang tamu. Tiba-tiba saja turun hujan diikuti petir yang begitu nyaring bunyinya. Agatha terkejut lalu mengeratkan tangannya pada selimut yang menutupi tubuhnya, ia ketakutan dengan petir. Ia menangis, ia ingin sekali menghampiri Algi. Namun, ia sudah banyak merepotkan cowok itu sejak siang hari. Dalam isak tangisnya lampu kamarnya tiba-tiba padam, hal itu membuat tangisnya semakin kencang.

“Hiks, Mama ... Atha takut,” lirihnya sambil menundukkan kepalanya.

Algi yang terkejut lampu rumah mendadak padam, ia segera melangkahkan kakinya menuju kamar Agatha. Ia mendengar isakan tangis dalam kamar gadis itu, sudah ia duga pasti gadis itu ketakutan. Perlahan ia membuka pintu kamar gadis itu, dengan sebuah senter yang menjadi penerang. Ia mendapati gadis itu terduduk dengan kaki ditekuk, ia menghampiri Agatha yang sedang menangis, dan menenangkannya.
“Sttt ... nggak usah cengeng, gue ada di sini,” ujarnya sambil menyentuh bahu gadis itu.

Agatha mendongakkan kepalanya, ia mendapati Algi yang berada di hadapannya. Sontak ia berhambur ke dalam pelukan lelaki itu. Lagi-lagi Algi yang menjadi pelindungnya, sungguh ia sangat berterima kasih atas kehadirannya walaupun lelaki itu sering menjahilinya dan sering bersikap dingin kepadanya.
“Algi, gue takut,” lirihnya.

Tangan kekar itu mengelus punggungnya agar tangisannya mereda. Lalu Algi mengajak gadis itu untuk pindah ke atas kasur.
“Mending lo tidur aja, kalau lo ketakutan panggil gue aja,” ujarnya yang hendak pergi.

“Jangan tinggalin gue, gu–gue takut,” pintanya.

“Gue di ruang tamu,” ucapnya.

“Ma–maksud gue, lo tidur di sini aja.”

Algi terkejut.

“Lo tidur di kasur bawah, gue di atas. Gue percaya sama lo,” lanjut Agatha.

Algi mengangguk paham, dan ia pun menurutinya. Dan akhirnya mereka berdua tertidur.

***
Kicauan burung dan sinar mentari pagi sudah menyapa dua insan yang sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah.
“Lo beneran udah sembuh?” tanya Algi untuk ke sekian kalinya.

Agatha menggeram kesal, dan menjawab, “udah, gue udah sembuh.”

“Tapi, Tha–“

“Pokoknya gue mau sekolah,” ujar Agatha.

“Dengan satu syarat,” ujar Algi.

Agatha menaikkan sebelah alisnya. “Apa?”

“Lo harus sama gue terus, kalau butuh apa-apa bilang sama gue.”

Agatha menggeleng. “Enggak, gue bisa sendiri.”

“Ya udah, berarti lo nggak sekolah hari ini. Gue telepon guru sekarang juga buat izinin lo libur sekolah,” ancam Algi sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

Agatha mendengus kesal, lalu ia pasrah dengan permintaan cowok rese itu. “Ck, iya-iya gue turuti persyaratannya.”

“Nah, gitu kek.”

Agatha mencebikkan bibirnya dengan kesal. Kenapa cowok itu hobi sekali mengancam dirinya. Sialnya ia menuruti.

Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan melajukannya menuju sekolah.

“Cepetan naik! Atau gue tinggal,” ancam Algi.

Kita berbeda [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang