Bab 13 || Restu

1.9K 95 9
                                    

“Gue capek terus-terusan menjadi boneka.”
***

Hari ini Algi memberanikan diri untuk mengenalkan Agatha pada keluarganya. Sudah dari lama ia ingin mengenalkannya, namun ia ragu apakah keluarganya akan merestui hubungannya dengan Agatha atau tidak.

“Al, kamu serius mau ngenalin aku ke keluarga kamu?” tanya Agatha gugup, dengan tangan yang terus menggenggam jemari Algi.

Algi mengangguk mantap.

Mereka berdua masuk ke dalam rumah yang bernuansa Eropa klasik itu. Keringat dingin membasahi dahinya, ia sangat takut jawaban dari kedua orang tua Algi di luar ekpetasinya.
“Shalom, Bunda,” panggil Algi kepada sang Bunda.

Dina yang sedang di dapur mendengar suara sang anak pun langsung menghampirinya. Dirinya terkejut saat sang putra tidak datang seorang diri, melainkan ada seorang gadis di sampingnya.

“Permisi, Tante,” ucap Agatha.

Dina menyambutnya dengan ramah. “Cantik sekali, nama kamu siapa?”

“Agatha, Tan,” jawab Agatha.

“Nggak usah panggil Tante, panggil Bunda aja. Biar sama kayak Algi,” kekeh Dina.

Agatha tersenyum canggung. “I–iya Bunda.”

Dina mengajaknya untuk duduk di sofa bersamanya, Algi yang melihat kedekatan Agatha dan bundanya langsung meninggalkan mereka berdua, ia memilih untuk mengganti pakaian.

“Kamu pacarnya Algi?” tanya Dina sambil membawakan segelas air putih dan beberapa biskuit buatannya.

“Iya, Bunda,” jawab Agatha sambil tersenyum.

“Dari kapan? Kok Bunda nggak tahu ya? Soalnya Algi nggak pernah kenalin pacarnya ke Bunda, dan baru kamu cewek pertama yang dikenalin ke Bunda,” tutur Dina.

Agatha tersenyum malu, perutnya terasa seperti ada kupu-kupu yang sedang beterbangan.

Dina senang dengan kehadiran Agatha, dirinya cukup menyukai gadis itu karena terbilang ramah dan sopan. Ternyata putranya itu tak salah memilih kekasih.
Mereka berbincang sampai sore, Agatha yang kaget saat melihat waktu sudah sore akhirnya memutuskan untuk pulang.

“Bunda, Agatha pamit pulang,” pamitnya sambil menyalami Dina.

“Hati-hati di jalan ya, sayang,” ujarnya.

Algi dan Agatha mengangguk bersamaan.

“Jangan ngebut, awas calon menantu Mama kenapa-napa,” ujar Dina memperingati sang anak.

“Iya bundaku sayang ....”

Dina menggeleng pelan.

Mereka pun mulai pergi dari hadapan Dina.

***
Malam yang dingin dengan sinar rembulan yang menerangi bumi, membuat seorang lelaki tampan itu tampak kedinginan. Kini dirinya kembali pulang ke rumah, namun sang Papa mengajaknya berbicara perihal Agatha.
“Algi, saya mau bicara sama kamu!” ujarnya dingin.

Marcel memang pria arogan, pria itu mendidik putranya dengan kekerasan tanpa memberi tahu dirinya mana yang baik dan buruk, yang ia lakukan hanyalah kekerasan, entah itu pukulan, atau pun tamparan.

Algi merasa menjadi boneka sang Papa karena semua kemauan papanya harus ia lakukan. Jika tidak, pria arogan itu akan marah dan memukulnya kembali. Tetapi sekarang ia sudah berani melawan karena ia tidak mau lagi menjadi boneka pria itu.

Kini dirinya hanya berjanji untuk melindungi sang Bunda dari pria arogan itu. Sampai detik ini ia tidak berbuat macam-macam kepada Marcel, tetapi jika pria itu berani bermain kasar dengan bundanya. Jangan harap nyawa pria itu akan selamat.

Dengan malas, ia menghampiri papanya dengan ekspresi yang sangat datar dan dingin. Sungguh ia sangat malas jika berhadapan dengan pria arogan di depannya ini.
“Kamu udah punya pacar?” tanya Marcel.

“Kalau iya kenapa, dan kalau enggak kenapa? Apa urusannya dengan Anda?” tanyanya balik, karena ia merasa curiga dengan apa yang dikatakan oleh papanya itu.

“Putuskan dia! Saya sudah mencari wanita yang lebih baik dari wanita itu,” perintahnya sambil memutar kursi meja kerjanya.

Brak!

Lelaki itu sudah habis kesabaran dengan tingkah dan perilaku sang Papa. Ia pun menggebrak meja kerja papanya dengan kencang. Wajahnya yang sudah merah padam dan rahang yang mengeras. Ingin sekali ia memberikan hadiah di wajah pria berengsek itu, tetapi ia tidak ingin menjadi anak durhaka.

“Hak apa Anda mengatur saya?” tanya Algi sambil berdiri, dan menatap tajam papanya.

“Saya Papa kamu, saya berhak atas kamu. See?” jawabnya dengan santai sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Hahaha. Papa? Anda bilang, bahwa Anda adalah Papa saya? Lawak sekali, seorang Papa mana yang mendidik anaknya dengan kekerasan, seorang Papa mana yang tidak pernah meluangkan waktu untuk anaknya, dan seorang Papa mana yang pernah berkhianat dengan istrinya, dan satu lagi. Seorang Papa mana yang menjadikan anaknya sebagai bonekanya.”

Tangan Marcel terkepal kuat, ia berusaha menahan emosinya agar tidak menampar putra tunggalnya.

“Kenapa, Anda emosi? Mau tampar saya lagi? Mau pukul saya lagi? Pukul saja, saya tidak takut. Dan saya sudah besar, saya berhak menentukan pilihan sendiri tanpa campur tangan Anda,” lanjutnya.

Marcel ingin sekali mencabut fasilitas yang diberikannya, tetapi ia tidak mau putranya itu pergi. Ia takut jika perusahaannya tidak ada penerusnya.

Gue capek, terus-terusan jadi boneka, batin Algi.



JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YA SAYANGKUUU❤️❤️

Kita berbeda [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang