Bab 09 || Siapa Lelaki Itu?

2K 93 7
                                    

“Lihat lo sama pria lain sedekat itu, jujur hati gue sakit.”

***

Pagi ini Agatha diantar sekolah oleh Iqbal, dengan senang hati Iqbal menuruti kemauan sang Adik. Ia juga sangat rindu dengan Adik kesayangannya yang satu ini. Mungkin ia akan menghabiskan waktu berdua sebelum ia kembali bekerja lagi.

“Tha, Mama masih di Bandung?” tanya Iqbal.

Agatha mengangguk.

“Kamu mau ke sana?”

Agatha menoleh dengan mata yang berbinar. “Jelas mau, Kak. Tapi ... kata Mama, Atha ke sananya kalau udah selesai ujian atau libur sekolah aja, Kak.”

“Ya udah, kalau kamu libur sekolah nanti Kakak ajak ke Bandung.” Agatha yang mendengar itu, jelas memekik senang, lalu ia mengecup pipi Iqbal.

Cup!

***
Seorang cowok dengan seragam sekolah lengkap itu sudah berdiri di depan pintu rumah sambil memanggil terus-menerus nama Agatha.
“Agatha, Tha!” panggilnya.

Tak ada sahutan.

“Tumben pintu dikunci, apa dia udah berangkat? Bisa jadi kali ya,” gumamnya.

Tanpa pikir panjang ia langsung menaiki mobil kesayangannya dan melajukannya menuju sekolah. Tiba di sekolah ia melihat pemandangan dua insan yang sedang tertawa satu sama lain, hatinya berdenyut hebat. Raut wajahnya berubah menjadi datar dengan dahi yang mengerut.

Siapa pria itu? Apa dia pacar lo, Tha? Terus kedekatan kita selama ini apa, jujur gue lihat lo sama pria lain hati gue sakit, Tha, batinnya.
Hatinya seperti ditusuk pisau, sangat nyeri.
Ia memilih pergi dari tempat itu dan masuk ke dalam kelas.

Saat di koridor ia bertemu dengan Agatha, gadis itu menyapanya, tetapi ia tetap melanjutkan langkahnya dengan wajah yang sangat datar. Hingga siapa pun yang melihatnya akan bergidik ngeri.

“Al, lo kenapa? Muka lo betek banget kayaknya,” tanya Agatha.

Algi melesat pergi tanpa menjawab pertanyaannya.

“Mungkin lagi badmood,” pikirnya.

***
Kring ... kring ....

Bel istirahat sudah berbunyi, Agatha pergi ke kantin bersama Rain. Gadis itu sudah mengeluh lapar sejak tadi.

“Ayo cepetan, Tha. Perut gue udah demo minta diisi,” gerutu Rain.

“Iya-iya, ayo!” kekehnya.

Saat di kantin, Agatha menyapu pandangannya. Ia melihat Algi dan ketiga sahabatnya sedang tertawa di meja pojok kantin. Pandangannya bertemu dengan Algi, tetapi Algi langsung memutuskan kontak mata dengannya, seolah sedang menjauh darinya.
Hati Agatha mencelos saat Algi bersikap seperti itu kepadanya. Senyum getir terpancar di bibir ranumnya. Nafsu makannya mendadak hilang, ia beranjak dari meja dan melesat pergi tanpa memberi tahu Rain terlebih dahulu.

Algi yang memperhatikan kepergian Agatha langsung menyusul gadis itu. Dirinya tahu bahwa Agatha belum sempat makan, bahkan gadis itu baru saja datang ke kantin.

Saat di rooftop, Agatha mendudukkan bokongnya ke kursi yang berada di rooftop. Matanya menatap langit yang begitu cerah hari ini, air matanya sudah tak terbendung lagi. Ia tak kuat menahannya.

Suara seseorang membuatnya terkejut dan berusaha menghapus air matanya. “Lo belum makan, kenapa pergi?” tanyanya datar.

“Apa peduli lo sama gue?”

“Nggak ada sejarahnya, pertanyaan dijawab dengan pertanyaan,” ujarnya.

“Gue udah makan,” elaknya.

“Bohong,” ujarnya, ia langsung menarik lengan gadis itu untuk kembali ke kantin.

Agatha menghentikan langkah mereka, dan kini mereka berdua saling bertatapan.

“Lo habis nangis?” tanya Algi.

“Nggak,” jawabnya.

“Kalau ditanya tuh jawab jujur,” bentaknya dengan tak sengaja.

Agatha terkejut saat mendengar bentakan dari cowok itu. Air matanya kembali mengalir.
Algi mengerang kesal, ia bingung harus berbuat apa, dan kenapa gadis itu malah menangis.

“Lo tuh, sebenarnya kenapa, sih?”

“Elo yang kenapa, kenapa sikap lo seolah ngehindarin gue. Gue salah apa sama lo, Al!” teriaknya dengan sekali tarikan napas.

“Gue? Gue ngejauhi lo ya buat jaga jarak, bukannya lo udah punya pacar, tadi pagi lo diantar sama pacar lo itu, 'kan?” ujarnya dengan santai.

Agatha terdiam, tiba-tiba rasanya ingin tertawa mendengar penuturan dari cowok itu. “Oh, lo cemburu?”

“Nggak,” jawabnya datar.

“Masa lo lupa, sih, dia siapa. Yakin nggak ingat?”

Algi terdiam, berusaha mengingat sesuatu. Namun nihil ia tidak mengingatnya.

“Dia Kakak gue, Kak Iqbal,” lanjut Agatha.

Oh shit, kenapa lo bisa lupa, Al. Muka lo mau taruh di mana, jerit batin Algi.

“Oh.”

“Ternyata cuma salah paham, dan benar, 'kan tebakan gue, lo cemburu?” ejek Agatha sambil tertawa ringan.

“Lo juga, 'kan? Nggak mau jauh-jauh dari gue,” balasnya hingga membuat gadis itu terdiam, “kenapa diam? Jawab dong.”

“Kepedean lo!”

“Tinggal jujur apa susahnya,” ujarnya.

“Lo juga, tinggal jujur kalau lo cemburu apa susahnya.”

Algi memejamkan matanya sejenak lalu membuka matanya dan mengunci pergerakan gadis itu. “Kalau iya, kenapa?”

Kita berbeda [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang