BAB II Payung merah

358 1 1
                                    

Keesokan paginya,cuaca cerah dan aku bagun lebih awal sehingga aku sampai di Halte lebih pagi dari kemarin. Hanya ada beberapa orang saja di Halte, aku melirik ke masing-masing wajah,mencuri –curi pandang berharap bisa mengenali salah satu dari mereka. Tapi percuma saja aku tidak mengenalinya. Aku hanya berdiri saja sambil memegang payung lipat merah tersebut, berharap pemiliknya yang akan mengenali payung itu dan datang menghapiri. Tetapi sampai Bus yang aku tuju datang, pria si pemilik payung tersebut tidak juga kunjung datang, dengan berat hati aku menaiki Bus tersebut.

"Ada hari esok semoga saja aku bisa bertemu dengan si pria berhati baik pemilik payung ini", bisikku dalam hati dengan yakin.

Seminggu berlalu, pria berhati baik itu tak juga kunjung datang menghapiriku di halte.
Rasa penasaran terus menghantui,

"siapakah pemilik payung ini ?".

" Mengapa dia tidak datang ke Halte itu lagi ?", begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Aku ingin mengucapkan banyak terima kasih padanya dan mengembalikan payung miliknya.

Aku duduk di Halte pagi itu seperti biasanya menuggu Bus, lalu aku melihat ada pedagang makanan yang mangkal tiap hari di Halte.

"Mengapa aku tidak tanyakan saya padanya!, Siapa tahu saja dia mengetahui siapa pemilik payung ini". Aku bergegas menghampiri bapak itu.

“Pak maaf..” aku mencoba bertanya pada bapak pedagang makanan.

“Iya neng, Mau beli apa ?” jawab bapak itu.

“Tidak pak, saya hanya ingin Tanya",
Apakah bapak tahu pemilik payung ini Pak ?” Tanyaku sambil memperlihatkan Payung lipat berwana merah.

Bapak pedagang itu memperhatikan payung itu dan menggeleng tidak tahu, “Memangnya Mba dapat dari mana ?” bapak itu balik bertanya.

Lalu kemudian aku menceritakan kembali awal aku memperoleh payung tersebut.
Setelah mendengar ceritaku bapak pedagang itu mengerutkan keningnya dan sepertinya dia mulai mengingat sesuatu.

“Bapak tahu siapa pemiliknya Pak?” rasa penasaran kembali bangkit.

“Kalau saya tidak salah payung ini milik pemuda itu .” Jawabnya datar sambil matanya menerawang.

“Pemuda siapa Pak? Mengapa saya tidak bertemu dengan dia lagi di sini?” Aku terus membrondong dengan banyak pertanyaan.

Bapak itu menatapku hampa dan menghela nafas panjang, dapat ku rasakan kesedihan dalam helaan nafas tersebut. Setelah beberapa saat, akhirnya bapak itu mulai bercerita.

“Yang Saya tahu, dahulu ada seorang pria yang dengan setia datang ke Halte ini tuk mengantar kekasihnya berangkat kerja. Setiap pagi dan sore hari, dia tidak pernah sedikitpun datang telat. Dia juga sering membeli gorengan di tempat saya. Pria itu sangat ramah dan sepertinya sangat mencintai kekasihnya. Mereka tampak mesra sekali.

Pada suatu sore hujan turun rintik-rintik, dengan memakai jas hujan dan payung merah dia datang seperti biasanya menuggu kekasihnya. Akhirnya Bus yang membawa kekasihnya itu datang. Pria itu sudah bersiap-siap menyambut kedatangannya dengan membuka payung lipat itu.

Bus berhenti dan beberapa penumpang turun demikian juga dengan kekasihnya. Tersungging senyum penuh dengan cinta di wajah pria itu ketika melihat wajah sang kekasih di sebrang jalan. Pria itu melambaikan tangan menyapa kekasihnya dari Halte.

Melihat sang kekasih menyabut kedatangannya, sang wanita dipenuhi perasaan eforia sehingga tidak memperhatikan sekitar.
Tiba-tiba saja ada pengendara motor yang melaju sangat cepat dari arah berlawanan dan dengan refleks sang wanita menghindari motor itu sambil mundur beberapa langkah akan tetapi naas baginya sebuah mobil melaju menuju arahnya tanpa bisa menghindar lagi lalu menabrak tubuh mungil sang wanita dan melemparnya beberapa meter dari tempat awal.
kejadian itu berlangsung sangat cepat. Sang wanita sudah bersimbah darah di tengah jalan. Sang Pria menatap dengan terkejut dan tak percaya,  bagai orang linglung dia berjalan menghampiri tubuh yang penuh darah itu sambil memanggil kekasihnya.

"Son..ya... Son..ya.. Tidaaak ", dengan suara tercekat.
Pria itu berlutut di samping tubuh sang kekasih, mengusap wajahnya sendiri berharap ini hanya mimpi dan dapat segera terbangun. Tetapi ini bukan mimpi, dengan sangat hati hati takut menyakitinya Pria itu merangkul sang kekasih dengan tangisan pilu. Memeluknya erat.

Semua orang yang melihat saat itu dapat merasakan kesedihan dan rasa Sakit yang dirasakan sang pria dari ratapan menyayat hati.
Sayangnya nyawa wanita itu tidak bisa ditolong lagi ketika ambulance Tiba, karena luka parah di kepalanya.

***

Tak terasa peristiwa itu sudah berlalu lima tahun yang lalu, rasanya baru kemarin saya melihat senyuman yang penuh cinta diwajah mereka”.
Bapak itu mengakhiri ceritanya dengan menarik nafas panjang.

" İtulah hidup Mbak, Ada yang datang dan pergi", bapak itu kembali menggoreng dagangannya.

Aku hanya diam menatap payung merah digengamanku dengan pilu, Aku tidak bisa merasakan betapa pedihnya perasaan Pria itu.

Payung merahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang