III. Katanya aku seperti lalat, menyebalkan

0 0 0
                                    

Kiara menghentikan langkahnya ketika Linggar tanpa sengaja menabrak sebagian tubuhnya dan berlalu begitu saja. Kiara membenarkan letak tali ranselnya, mengamati langkah kaki panjang yang semakin menjauh itu.

Linggar merangsek duduk di tepi dinding bangunan beton sekolahnya, bersandar pada dinding dan menatap lalu lalang orang-orang yang saling berburu waktu juga kesempatan. Linggar tertawa pelan, berburu kok waktu, batinnya meledek.

Linggar hampir saja memukul orang yang sedang berdiri membungkuk menatapnya lekat seolah akan kehilangan si waktu jika memalingkan pandangan sejenak. Linggar merengut tak senang melihat Kiara dengan polosnya memasang senyuman yang begitu manis sampai rasanya ia ingin menyeduh kopi sebagai pendampingnya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Kiara dengan senyuman juga tatapan polosnya, mirip anak anjing di dekat rumah Linggar.

Linggar berdecih, kembali menatap deretan pepohonan yang berbaris layaknya pasukan tentara di mata lelaki itu. “Lo yang lagi ngapain liatin gue nyampe gak ngedip. Kayak Alisia aja lo,” ucap Linggar. Kiara beranjak duduk dengan tatapan tertarik, tapi sedikit takut terjatuh.

“Siapa Alisia? Adik kamu? Orang terdekatmu?”

“Kagak. Dia biawak gue, mirip banget sama lo.” Kiara merengut kesal, memalingkan tatapannya ke arah lautan hijau yang konon kata semesta itu adalah paru-paru bumi.

“Aku suka di ketinggian. Rasanya seperti terbang, dan juga.. aku bisa merasa lebih dekat dengan langit. Senja selalu bersembunyi di balik langit, aku kesal. Aku juga bisa melihat semesta, rasanya menenangkan. Tapi ayah melarangku untuk mendaki puncak tertinggi bumi, padahal senja memintaku untuk berani, tapi aku tak bisa.” Linggar melirik Kiara yang tampak menunduk dengan tangan terkepal di dadanya. “Jeratan itu sangat kuat.” Linggar berdecih, mengacuhkan curhatan Kiara yang menurutnya sangat tak penting.

“Kamu bolos ya?” Linggar berjengit tak suka mendengar itu, sebenarnya itu fakta, tapi ekspresi polos itu benar-benar membuatnya tersinggung. Linggar memilih mengacuhkan gadis manis itu.

Anak lelaki dengan rambut cepak dan anting yang menghiasi telinganya, merogoh saku untuk mengeluarkan sebuah bungkusan kotak. Kiara mengamatinya penuh minat, apalagi ketika Linggar menyulut api dan membakarnya. “Mau?” tanya Linggar dengan senyuman mengejek. Kiara mengangguk antusias. Linggar awalnya terkejut, tapi kemudian memberikan satu puntung yang tadi dinyalakan sementara dirinya menyalakan batang lainnnya.

Kiara begitu seksama mengamati Linggar dan mengikutinya, detik kemudian terbatuk disertai asap. Linggar tertawa, menghisap rokoknya sendiri. Kiara merengut, membuang puntung rokok ke samping. “Gobl*g Lo!” umpat Linggar dibalas rengutan Kiara. Linggar tampak puas dengan hasil kejahilannya. Anak mamah sok-sokan ngerokok, gue tebak bapaknya tukang kibul, anaknya aja nyampe gak tau rokok, ngibulnya pinter amat, batinnya menyindir.

“Itu apasih? Kok gak enak, manisnya sih enak.” Linggar memainkan batang rokoknya.

“Itu rokok lah.” Detik berikutnya rokok milik Linggar terbang bebas begitu saja sementara sang empu melongo sebelum sedetik kemudian tampak begitu tak suka.

Kiara dengan perasaan bersalah, berlari pelan mengejar Linggar, tapi juga tak berani berdiri di sebelah anak lelaki itu. Sampai tiba-tiba Linggar menghentikan langkahnya dan menatap lekat Kiara. “Lo apa-apaan sih?! Lo mau nyeramahin gue tentang bahaya rokok?! Basi tau!” cecar Linggar.

“Ta-“

“Gue juga gak suka sikap Lo, sok kenal sok deket. Gue gak suka lo jadiin alasan kita teman sebangku buat alasan lo deketin gue! Lo itu kayak lalat, ganggu dan nyebelin,” sela Linggar. Kiara memberanikan dirinya untuk menatap Linggar.

“Bukan itu, kamu mau ngerokok itu hak kamu. Aku cuman mau jauhin rokok itu dari kamu, aku gak ada niatan sampe buang rokok kamu. Tadi rokok kamu hampir bakar celana kamu. Maaf kalo kamu gak suka, maaf..” aku Kiara dengan tatapan bersalah dan melangkahkan kaki mungilnya menjauh dari Linggar.

Linggar melirik celananya, ada sedikit bekas terbakar. Entahlah, perasaan Linggar bercampur aduk.
*****

Sudut pandang Kiara

Kata dia aku menyebalkan, seperti lalat. Apa aku salah? Aku hanya ingin berteman dengannya, bahkan aku juga tak ingin menjadi seseorang yang serba benar di matanya, tapi entah kenapa dia tak menyukaiku. Apa senyuman manis ini membuatnya bosan? Entahlah, dia seperti sulit dijangkau seperti layaknya senja dan langit. Semesta, aku merasa begitu sedih. Aku tak tau.

Aku melirik ayah yang tampak berlari mendekatiku, tubuhnya kian hari kian mengurus tak seperti ayah teman-temanku yang perutnya seperti orang yang sedang mengandung. “Berhentilah untuk membuat ayah kwalahan, Key. Ayah sudah tua, kaki ayah tak lagi seperti dulu.” Aku tersenyum dengan perasaan bersalah, sepertinya kakiku dan kaki ayah memiliki hampir memiliki batas yang sama.

Aku merangsek memeluk lengan ayah, bersandar kepadanya. “Ayah, apa aku menyebalkan?”

Aku menoleh ketika ayah merubah posisi duduknya dan mengamati wajahku lekat-lekat. Aku mernegut ketika ayah menangkupkan kedua tangannya di wajahku.

“Siapa yang berani bilang gitu ke anak ayah? Coba suruh sini, biar ayah suruh nyari beda putri ayah sama gula.” Aku semakin merengut, tapi juga tak bisa menyembunyikan tawa geliku. Ayah ikut tertawa dan mendekapku erat, kami tenggelam dalam tawa.
*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biarkan aku mencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang