Tok.. Tok... Tok...
Lamunannya terhenti ketika suara ketokan kaca jendela terdengar Sepertinya ada orang yang sengaja mengetuk jendela kamar Indri. Segera ia buka jendela itu. Terlihat seorang pemuda basah kuyup kedinginan.Kamar Indri berada di depan, jadi tidak ada penghalang ruangan antara kamar dengan halaman rumah. Ya, lelaki itu adalah Fandi. Mantan kekasihnya. Dengan kecepatan kilat ia tutup jendela itu dengan kasar. Ia biarkan mantan kekasihnya itu mati kedinginan di guyur hujan yang mendera dengan gusar. Hubungan mereka telah terputus sejak acara makan malam tiga hari yang lalu.
Tak terasa, tiga tahun berlalu dengan waktu yang begitu singkat. Bulan Desember telah datang menyambut setiap insan di dunia ini. Indri yang mendapat panggilan pekerjaan dari pabrik pengalengan ikan seminggu yang lalu, ia pun memutuskan untuk pindah di sekitar pabrik itu. Mengontrak sepetak rumah untuk ia tinggali selama ia bekerja di pabrik tersebut. Ya, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di Sidoarjo. Dengan harapan ia tak lagi merepotkan Bude Sumi.
Pagi ini ia bergegas menuju Terminal Bunguraseh, diantar oleh Pak Agus, tetangga Bude Sumi. Tak ada yang tahu kepergian Indri untuk bekerja di pabrik ikan, hanya Bude Sumi dan suaminya lah yang tahu. Tapi nyatanya, hal itu sudah diketahui Fandi terlebih dahulu sebelum Indri berangkat ke terminal bus. Ia mengetahuinya dari Pak Agus, sebelum pria paruh baya itu mengantarkan Indri ke terminal bus. Pak Agus menceritakan semua kejadian pada Fandi sewaktu mereka bertemu di pos satpam yang berada di pertengahan gang kecil tersebut.
Fandi yang hendak pergi kuliah memutuskan untuk pergi ke terminal.Tak lupa ia ambil kotak berukuran sedang yang terbungkus rapi kertas kado di nakas kamarnya. Ia berencana untuk memberikan kotak itu pada gadis pujaannya. Inriani Wardhani.
"Tunggu sebentar. Biarkan saya berbicara sebentar," Fandi berusaha mencegah gadis yang berada di depannya. Ia pegang dengan kuat pergelangan tangan gadis itu. "Maafkan saya dan kedua orang tua saya. Ini. Tolong terima kotak ini, sebagai tanda maaf saya ke kamu," ujar pria itu dengan tatapan kasihan sembari memberikan kotak berwarna merah itu pada Indri. Tetes demi tetes air mata mulai terjatuh membasahi pipi gadis berambut hitam legamnya yang dibiarkan terurai. Tak hanya Indri yang menangis, mata Fandi pun turut berkaca-kaca. "Terima kasih," jawab Indri dengan nada menahan tangis.
Fandi keluar dari dalam bus, ia biarkan gadis itu pergi meninggalkan Kota Pahlawan itu. Suara bising bus-bus besar mulai terdengar masuk ke telinganya.Mungkin, kisah mereka harus berakhir menyedihkan seperti ini. Tapi, sudahlah. Tak ada yang tahu bagaimana akhir kisah cinta mereka. Barang kali mereka akan dipertemukan kembali? Siapa yang tahu? Biarlah waktu menjalankan tugasnya, menjawab semua pertanyaan yang mendera.
***Sepuluh tahun berlalu, ia masih mengingat kejadian demi kejadian yang telah ia alami. Ia lihat lagi sekitar. Hanya tiga tempat yang tidak berubah. Rumah berpagar besi hitam, sepetak sawah, dan warung kecil, hanya saja warung ini sudah bertransformasi menjadi kedai yang lebih modern. Indri mengeluarkan sesuatu berbentuk kotak dari tasnya. Ia buka perlahan, ia keluarkan isinya. Kotak musik berbentuk hati berwarna merah coba ia putar gagang kotak musik itu. Terdengar suara lembut mengalun menemani wanita berumur tiga puluh tahunan itu menyeruput segelas es jeruknya. Bulir-bulir air mata mengalir tanpa sadar, seiring terdengarnya melodi pada kotak musik itu. Hatinya kembali kacau mendengar lantunan ritme itu.
"Selamat sore?" Sapa seorang lelaki pada Indri. Mendengar suara sapaan lelaki itu, Indri langsung menoleh kebelakang. Siapa gerangan lelaki yang menyapanya di tempat seperti ini. Apakah Bayu, suaminya menyusul ke tempat ini?Matanya terbelalak kaget, kedua tangannya menutup mulutnya yang menganga karena terkejut. "Fandi?" Seorang lelaki berjas hitam berdiri tegap di sebelahnya. Masih sama seperti dulu. Tinggi, berkulit putih hanya saja kali ini ia menggunakan kacamata minusnya, dan tentu saja, tetap manis dan tampan.
Fandi mengambil tempat duduk berhadapan dengan Indri. Sedikit rasa canggung menyelimuti hati keduanya. "Aku membeli tanah ini dari pembeli sebelumnya dengan harga tinggi. Dan juga sawah itu," menunjuk keluar jendela kaca. "Aku tidak mau kehilangan tempat yang memiliki banyak kenangan denganmu. Jadi, setelah lulus kuliah aku mulai bekerja dan mencicil tanah dan sawah ini. Agar aku selalu mengingatmu". Baru saja Fandi membuka suara, Indri tak henti-hentinya menangis.Pembicaraan mereka terhenti karena kotak musik yang sebelumnya berhenti, kini mengalun bersuara. Seorang gadis kecil dengan rambut panjang yang di kepang sedang berdiri memainkan kotak musik milik Indri. “Ini, perkenalkan. Dia Aurel, anak perempuanku. Empat tahun setelah kamu pergi meninggalkan Surabaya kami menikah,” ujar Fandi dengan tangan kanannya menggandeng bocah perempuan itu. “ Kami? “ Indri terkejut dengan wajah sedihnya. “ Ya, kami. Aku dan Reta,” jawab lelaki di hadapannya.
Matahari hendak meninggalkan peraduan. Seharian Indri berada di gang ini. Mengingat kenangannya dulu di Surabaya selama tiga tahun, lika-liku kehidupan dan percintaannya dengan seorang lelaki yang pernah singgah di hatinya harus berakhir memilukan. Berat bagi Indri melangkah keluar meninggalkan tempat ini, tetapi anak dan suaminya telah menunggu mereka di rumah. Ia putuskan untuk keluar dari gang ini. Menghentikan kenangan yang sempat ia mulai kembali.Menghentikan sebuah taxi yang melaju di jalanan besar Surabaya. "Indri!" Teriak Fandi saat Indri hendak naik taxi. "Bawalah kotak musik ini. Simpan saja untukmu, sebagai kenang-kenangan dariku," sambungnya. Ia ambil kotak musik itu dan segera ia tinggalkan tempat ini.
Tak ada yang tahu bagaimana sebuah kisah akan berakhir. Akankah bahagia atau malah menyedihkan. Tak selamanya yang orang yang kita cinta harus tetap bersanding dengan kita. Ada kalanya kebahagian perlu rasa ikhlas dan pengorbanan. Merelakan seseorang yang kita cinta menggapai bahagianya.TAMAT