Chapter 1 - Kegilaan

1K 22 0
                                    

👩👦👧
Saat wanita yang disebut pelakor mengejar-ngejar cinta pria beristri. Maka aku mengejar data masalah hati.
Menjadi pelakor demi gelar Sarjana Komunikasi.

👧👦👩

♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢

"Lo udah gila, Beb. Kayak gak ada masalah lain yang bisa lo angkat aja! Gue gak suka lo angkat masalah ini, gue gak mau tahu, lo ganti aja ide gila ini." sontak membuat Shintya naik darah setelah membaca judul proposal yang sudah di setujui dosen PA (Pembimbing Akademik). Untuk mendapatkan gelar S.Kom, aku mengangkat masalah perselingkuhan. Bukan perselingkuhannya yang menjadi masalah. Namun cara untuk mendapatkan data yang membuat Shintya berang. Hampir semua wajahnya memerah karena amarah yang meledak-ledak. Telingaku sudah penuh dengan omelannya sedari tadi, untungnya udah biasa. Jadi telingaku tidak perlu beradaptasi lagi. Ah, wanita ini kalau ngomel bisa dengan satu kali tarikan nafas.

"Mana bisa gitu, Shin. Lo gak tau gimana excitednya gue pas nemu masalah ini. Gue udah bayangin gimana tantangannya ke depan. Gue pengen ngerasain sensasinya itu, dan lo gak bakalan ngerti," ucapan lebih menggebu-gebu, daripada amarahnya. Tantangan merupakan caraku menikmati hidup. Sebagian orang akan berjalan lurus untuk menghindari masalah, namun aku lebih suka mencari masalah. Biarlah kalian menganggapku gila, aku suka dan aku menikmatinya.

"Sensasi jidat, lo. Ini resikonya lebih gede, cong. Kalau biasanya lo cuma nge-ba-ha-ya-in diri lo sendiri, gue mah kagak peduli. Lah ini loh mau ngudek-ngudek rumah tangga orang hanya demi penelitian lo yang menurut gue sangat ... sangat konyol," Shintya menyilangkan tangan di dadanya dengan tatapan melotot.

"Itu mata udah belok, jangan dibulet-buletin gitu. Jelek tau," duduk meraih remote tv dan menyalakannya.

"Biarin, biar keluar sekalian. Lo nganggap gue sahabat atau tukang sayur sih, Bebby? Sekali-kali denger dong saran gue. Gue bener-bener gak paham sama jalan pikir lo yang makin sedeng. Lama-lama lo gila beneran deh,"

Ku biarkan Shintya terus nyerocos tanpa henti, berharap aku berubah pikiran. Namun sayangnya, sedikitpun tidak ada niat untukku berhenti atau mengganti judul skripsi yang udah buat aku jatuh cinta. Memang sekilas judul skripsiku tidak memiliki pro-kontra, hanya mencari motif perselingkuhan dirumah tangga yang berakhir di meja hijau. Masalah yang diangkatpun masih standar, alasan suami menggugat cerai istrinya dan penyebab suami mengkhianati pernikahan mereka. Awalnya, aku terinspirasi dari cerita yang sempat viral. Memiliki keluarga yang harmonis dan terlihat jauh dari gosip, ternyata tidak bisa menjamin semuanya baik-baik saja. Masih membuka peluang kehadiran wanita lain di kehidupan mereka. Namun yang membuat Shintya panas hati, saat dia membaca cara pengumpulan data yang tak biasa. Sebagai bahan observasi, aku akan menjalin hubungan dengan pria beristri. Tujuannya, aku ingin mendapatkan data yang lebih akurat dengan kedekatan yang intens. Targetku ialah pria dengan rumah tangga yang terlihat harmonis. Saat aku hadir sebagai orang ketiga, apakah rumah tangga mereka aman-aman saja. Membayangkannya saja membuat semangatku naik berkali-kali lipat, sudah tak sabar rasanya.

Hari ini aku berencana ke Semarang untuk menghadiri acara keluarga yang akan menikahkan anak sulungnya. Awalnya aku tidak pernah tertarik untuk menghadiri acara pernikahan. Aku benci keramaian dan benci dengan pertanyaan 'Kapan nikah?'. Rasanya ingin juga ku tanya 'Kapan matinya?". Demi apapun aku muak, jika membayangkan harus menikah, punya anak, menua dan mati. Itu bukan jalan yang ku inginkan. Namun demi penelitian ini, maka aku harus keluar dari zona nyaman. Aku akan memulai mencari respondenku di sana. Karna terlalu bersemangat, aku datang satu jam lebih awal dari jadwal penerbangan. Kini aku harus duduk menunggu penerbanganku tiba. Sebelah telingaku tutup dengan headset dan membiarkan alunan lagu 'Senorita' mengalun lembut di telinga. Rambut yang sedari tadi berkibar oleh angin, ku ikat asal. Meninggalkan beberapa helai anak rambut yang kubiarkan jatuh di wajah.

"Boleh duduk di sini?" tanya seorang pria di hadapanku dengan tersenyum ramah. Pria dengan setelan resmi, mirip seorang karyawan kantor. Aku melihat ke sisi kiri dan kanan memastikan bahwa aku sedang tidak berada di zona pribadi.

Aku tersenyum, "ini bandara, Pak. Siapapun boleh duduk di mana saja Bapak mau."

"Jangan panggil saya Bapak. Panggil saja, Jaya." Pria itu mengulurkan tangannya. Tanpa ragu aku membalas ulurannya.

"Mora,"

Pria ini cukup ramah, obrolan kami mengalir begitu saja. Pria yang memperkenalkan diri bernama Jaya, selalu membicarakan pekerjaanya, terlihat sekali dia sangat menyukai pekerjaannya. Dia bekerja di sebuah kantor pemasaran perumahan elit dan apartemen. Aku tak tertarik dengan isi dompetnya, namun jauh lebih menarik saat dia mulai menceritakan rumah tangganya.

Pria tiga puluh lima tahun, dan sudah menikah kurang lebih sepuluh tahun ini, telah memiliki dua orang anak dan istri yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Karena istrinya tidak bisa mengajukan pindah, mau tak mau Jaya harus bolak balok mengunjungi mereka. Seminggu atau dua minggu sekali dia akan ke Jakarta karena anak istrinya tinggal di sana.

"Gak capek bolak balik Semarang-Jakarta?" tanya ku saat dia selesai bercerita.

"Capek sih gak, cuma berat di ongkos," dia terkekeh.

"Curhat. Lebih tepatnya berat di rindu, ya!" ejek ku saat dia berhenti tertawa.

"Itu jangan ditanya lagi. Makanya aku usahakan seminggu sekali pulang," senyum khas seorang lelaki dia berikan. Sedikit membuat hati berdesir. Segera kuredam rasa yang mengusik. Aku sudah memiliki komitmen sebelum melakukan penelitian ini. Tidak akan menggunakan perasaan dan jatuh cinta pada respondenku. Dan yang paling penting, aku tidak akan sampai membuat mereka bercerai. Saat informasi yang aku perlukkan dirasa cukup, maka saat itu pula akan aku akhiri.

Akhirnya kami bertukar nomor telepon sebelum berpisah. Ya, walau aku harus meminta lebih dulu. Sepertinya dia tidak keberatan saat aku bilang akan menghubunginya nanti.

Aku sudah mendapatkan respondenku yang pertama. Kesempatan ini tak akan aku sia-siakan. Mengingat saat di Semarang nanti, dia tak bersama istrinya. Cukup untukku memulai misi.

 Cukup untukku memulai misi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Casting Bebby Mora

[Menjadi pelakor bukan karena hati, tapi tuntutan skripsi. Semoga bisa mengambil pesan moral di dalam cerita ini.]


TB
15 November 2019

👇
🌟

BEAUTIFUL MISTAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang