Chapter 6 - Perih

726 32 3
                                    


Sudah sepekan kejadian itu berlalu. Namun tak menyurutkan langkahku untuk menyelesaikan skripsi. Pria yang membantuku waktu itu tergolong pria langkah. Pembawaannya tenang dan lembut. Dalam bertutur, hampir selalu membuat aku kagum. Jarang-jarang di zaman sekarang pria bicaranya sopan dan lembut. Jangan dikira aku dan dia tidur sekamar. Setelah dia mengantarku kekamarnya, dia izin ngopi diwarung depan penginapan. Sampai pagi dia baru kembali. Aku kira dia akan memanfaatkan keadaan. Ternyata salah, dia pria yang berbeda.

Tamparan keras dibahu membuat aku tersadar dari lamunan. Dasar Shintya gak boleh liat orang senang aja.

"Ayo, ngelamunin siapa lu, hah?"

"Ck, dasar nyamuk. Ganggu aja itu suara." Shintya hanya nyengir kuda.

Dia berusaha menyambar jaket yang aku pegang, yang membuat ingatan kembali pada pria berlesung pipi itu. Namun aku menangkisnya.

"Gara-gara benda ini lu jadi kagak waras."

"Ish, sotoy aja lu. Ini baru habis gue cuci mau gue lipet. Trus balikin keorangnya." Jawabku dengan dusta. Padahal jaket itu belum aku cuci, aku masih ingin mencium bau parfum yang melekat di sana.

"Emangnya tau alamat yang punya jaket?"

Aku menggeleng. Aku baru menyadari kebodohan keduaku. Bagaimana aku akan mengembalikannya kalau gak tau dia tinggal dimana.

"Jangankan alamatnya, namanya aja lu gak tau. Baby, Baby, Entah apa yang merasukimu." Shintya langsung menyanyikan lagu yang sedang viral itu.

Seharusnya aku bersyukur, aku tidak perlu repot-repot mengembalikan jaketnya.

Siang ini aku ke kampus, untuk konsul. Hanya lama menunggu antrian. Konsulnya lima menit doang. Saat akan pulang, Pak Hartoyo dosen pembimbingku memanggil.

"Baby, Bapak bisa minta tolong?" ucapnya sambil membetulkan letak kaca matanya yang mulai melorot.

"Minta tolong apa, Pak?" Tanyaku sedikit bingung. Bukannya gak pernah dia minta bantuan, sering malah. Namun kadang-kadang permintaannya aneh-aneh. Pernah minta tolong kemini market untuk membelikannya ciki-ciki. Atau minta tolong tanyakan harga telur asin di pasar daerah yang tak jauh dari kampus. Dan terakhir dia memintaku menanyakan harga kostum kucing anggoranya yang akan ikut kontes.

"Tenang, kali ini Bapak gak minta kamu nanyain harga kostum kucing lagi." Aku berusaha tersenyum, karena perasaan ini mulai gak enak.

"Tunggu sebentar," Pak Hartoyo masuk keruangannya kemudian keluar dengan memeluk kardus dua tingkat yang cukup besar.

"Kamu, bawa mobil 'kan?" ucapnya berusaha mengintip dari balik kardus di dekapannya.

"Bawa sih, Pak. Tapi ini apaan, Pak?" Tanyaku dengan risih.

"Ayo!" Bukannya menjawab, Pak Hartoyo malah menuntun menuju parkiran. Dia memintaku membuka bagasi mobil. Aku nurut aja. Boleh kali ya kali ini berburuk sangka.

Pak Hartoyo menunjukkan sebuah kartu nama, Rifki Aditia di sana sudah tertera alamat pemilik nama.

"Tolong kamu antarkan dekorasi pesta ini ke alamat itu sekarang."

Pak Hartoyo menyodorkan selembar uang seratus ribuan.

"Gak usah, Pak. Saya ikhlas kok."

"Bapak gak nyuruh kamu cuma-cuma. Kamu itu perlu tenaga untuk sampai di sana. Kuda aja di kasi rumput sebelum bekerja."

Aish, dia samain aku ama kuda, dikasi makan dulu baru kerja. Gak mau bertele-tele aku segera menerima uang pemberian Pak Hartoyo. Dan menuju alamat yang sudah aku ketahui, hanya tinggal mencari nomor rumahnya.

Aku kembali membaca kartu nama itu, melihat nomor rumahnya. Memastikan agar aku tak salah memencet bel. Tak lama aku bisa menemukan rumah yang dimaksud. Cukup mewah dan megah. Namun tak membuatku berdecak kagum. Karena memang dikawasan ini, merupakan kawan perumahan elit. Orangtuaku juga tinggal di kawasan ini, hanya beda beberapa blok.

Merasa kotak itu ringan, aku berusaha membawanya sendiri. Namun kotak ini cukup menghalangi pandangan. Dengan susah payah aku menekan bel. Tak lama pintu terbuka.

"Maaf, cari siapa ya?" tanya seorang wanita yang belum bisa ku lihat wajahnya. Saat aku memiringkan badan untuk melihat si empunya rumah. Otomatis kotak yang ada didepanku juga ikut beralih posisi. Namun seseorang dari belakang menabrak kotak itu dan membuat isinya berhamburan keluar. Yang membuat aku terkejut bukan isi kotak yang berhamburan. Namun orang yang menabrak, aku mengenalinya.

"Kamu!" Ucapnya dengan suara kaget.
Ternyata dia masih mengenaliku.

"Hai," aku berusaha menutupi kegugupanku.

"Maaf," ucapnya membantu mengumpulkan bahan-bahan perlengakapan pesta yang sudah berserakan dilantai.

Setelah semua masuk kembali kedalam kotak, aku diajak masuk dan menikmati segelas air jeruk. Cukup menghilangkan dahaga dan kegugupan. Wanita yang kukira pemilik rumah, ternyata dia adalah seorang ART di sini.

"Kenapa bisa sampai ke sini?" tanyanya to the point.

Tak langsung menjawab, segera ku sodorkan kartu nama pemberian Pak Hartoyo. Dia menyambutnya tanpa kata.

"Ini kartu nama saya."dia menaikkan satu alisnya, sungguh ekspresi yang membuat aku gemes.

"Pak Hartoyo meminta tolong untuk mengantarkan barang-barang itu ke alamat yang ada di kartu itu."

"Cantik-cantik kok jadi kurir?"
Aku spontan tersenyum mendengar pujiannya, dan berusaha menahan rona pipi yang mulai gak tahu diri menunjukkan warnanya.

"Masa cantik-cantik gitu dibilang kurir, Pa." Sambut seorang perempuan dari samping. Wanita berjilbab hitam panjang menutupi dada dengan menggunakan baju warna salem sungguh menampilkan sosok wanita anggun. Namun bukan penampilannya yang menjadi fokus, melainkan panggilannya untuk pria di hadapanku.

"Maksud Mama, Mama kenal sama wanita ini?"

Sungguh aku merasa sangat asing diantara mereka. Memang aku orang asing, tapi perasaanku saat pertama kesini tak seperti ini. Entah sejak kapan ada harapan yang menggantung pada pria ini.

"Barusan Pak Hartoyo menghubungi Mama. Bilang kalau ada mahasiswanya yang nganterin barang pesanan kita tempo hari."

Sungguh aku tak kuat lama-lama melihat pemandangan dihadapanku saat ini. Kenapa aku tiba-tiba merasa patah hati. Bukankah tak ada apa-apa diantara kami.

"Maaf, saya permisi dulu." Aku segera keluar, setelah menerima ucapan terima kasih dari pasangan yang sangat serasi itu. Namun saat akan membuka pintu mobil, sebuah suara menahanku. Sontak membuat aku menoleh. Dia mengulurkan kartu nama yang aku berikan tadi.

"Siapa tahu perlu," ucapnya dengan tersenyum. Menampakkan lesung pipi yang menambah manis si pemiliknya.

Aku segera meraih kartu nama itu, "Terima kasih,"

"Niat gak balikin?" Aku sontak mengernyitkan dahi.

"Jaket itu hadiah pernikahan, saya berharap masih bisa kembali."

Astaga dia masih mengingatnya. Dan barusan dia ngomong seolah-olah aku ini pencuri.

"Tenang aja, bakalan gue balikin. Ntar gue hubungin." Ucapku dengan nada ketus.

"Kenapa marah?"

"Perasa amat jadi cowok. Gue balik dulu."

"Hemb ..." Ucapnya tak berselera terlihat dari ekspresinya.

Perlahan mobil menjauh, dari kaca spion aku masih bisa melihat dia berdiri menatap mobil. Ada hati yang tertinggal di sana, ditempat yang salah.

Lamanya aku baru bisa up part ini. Lagi nyicil cerita yang lainnya. Ditunggu aja ya!

TB, 07 Januari 2020

Jangan lupa votenya
💖

BEAUTIFUL MISTAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang