CHAPTER 9

10.2K 468 2
                                    

|Happy Reading|

***

“Mama beneran mau ke London?”

Zara mengayun ayunkan kedua tangan Syifa mamanya. Ya, hari ini adalah hari keberangkatan kedua orang tua Zara dan Zidan ke London untuk menjalankan bisnis mereka.

Mereka tengah berkumpul di rumah orang tua gadis itu.

Syifa tersenyum menanggapi tingkah manja sang putri. “Ya beneran lah. Kan udah pesan tiket”

“Ini serius, aku gak diajak?”

“Kamu gak usah takut Ra. Kan udah punya suami juga”

“Tapi kan Zara gak pernah jauh dari mama papa” Zara mencebikkan bibirnya.

Matanya mulai berkaca kaca—ingin sekali menangis, namun ia tahan agar air tidak terlihat cengeng. Tak rela jika ia harus jauh dari kedua orang tuanya.

Jika di tinggal 1 minggu, mungkin Zara masih bisa tahan. Tapi ini? Waktu 2-3 bulan itu cukup lama.

Inilah sifat asli Zara. Kekanakan dan sedikit manja. Tetapi sifat ini hanya di tunjukkan kepada keluarganya saja. Mungkin karena ia satu satunya anak perempuan di keluarga Ramadhani.

Haris terkekeh kecil, mendekap tubuh mungil putrinya itu “Anak papa jangan cengeng dong. Nanti kan masih bisa video call” ujar Haris ikut menenangkan, seraya mengusap usap puncak kepala Zara.

Ada rasa tak rela harus meninggalkan Zara. Namun apa daya, proyek yang sudah ia rencanakan beberapa tahun yang lalu tidak mungkin ia batalkan begitu saja.

Gadis itu memeluk erat kedua orang tuanya. “Jangan lama-lama di sana! Pokoknya jangan sampai betah, terus lupa pulang. Kalau udah sampai, telepon aku ya”

Syifa dan Haris tersenyum gemas melihat Zara. Mereka membalas pelukan Zara tak kalah erat.

“Iya sayang. Kalau sudah selesai langsung pulang kok. Mama papa juga bakalan kangen sama kamu. Kamu gak usah khawatir ya di sini. Kalo butuh bantuan, langsung telepon anak buah mama aja ya” ujar Syifa, “Lagian Zara sekarang kan gak sendiri. Ada Zidan. Jadi kamu gak perlu khawatir ya” lanjut wanita itu.

Zara mengangguk mengiyakan. Ia masih dalam posisi berpelukan dengan kedua orang tuanya. Masih nyaman dalam kehangatan pelukan keluarganya.

Zidan ikut tersenyum melihat istrinya itu. Ia sibuk memandangi Zara, sampai Anis–bundanya membuyarkan lamunannya.

“Ehem” Anis berdehem cukup keras, membuat Zidan menoleh dengan tatapan bingung.

“Aduh, yang lagi lihat in istrinya sampai lupa sama bunda sendiri” sindir Anis, bersedekap dada.

“Apa sih bun, siapa yang ngeliatin Zara coba” elak Zidan.

“Iyain deh. Kamu gak mau ngomong apa gitu sama ayah bunda?”

“Lah? Ini Zidan udah ngomong”

“Ish, bukan. Basa basi kek! Anak siapa sih kamu, nyebelin banget” cibir Anis.

“Anak bunda lah. Kalo aku nyebelin, kan turunan dari bunda” jawab Zidan sambil terkekeh. Anis mendengus kesal mendengar ucapan putranya itu.

Zidan mengulum senyum, “Bercanda bun. Bunda sama ayah hati-hati ya” cowok itu bergerak untuk memeluk kedua orang tuanya. Anis dan Setya–ayah Zidan menyunggingkan senyuman mereka.

“Iya, kamu juga hati-hati ya Dan. Jangan lupa sama kewajiban kamu sekarang, jaga in Zara. Dia itu istri kamu, tanggung jawab kamu. Pokoknya kamu jangan pernah bikin dia kesel” nasehat Anis yang diangguki oleh Zidan.

Young MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang