Sekian menit berlalu begitu saja. Buku paket geografi juga buku tulis big boss masih tergeletak utuh tak tersentuh di atas meja belajar putih. Konsep scandinavian memang cukup menonjol di rumah ini. Pun dengan suasana ruang belajar Alena. Desain meja belajar yang simpel bersanding dengan kursi warna pastel dan lampu belajar minimalis membuat salah satu sudut kamarnya menjadi tempat belajar yang nyaman dan elegan.
Sedianya Alena harus membuat peta konsep mitigasi bencana. Namun yang berputar di dalam otaknya bukan hal-hal yang bisa diupayakan untuk mengurangi risiko bencana. Justru Beberapa wajah berkelebat dalam ingatan Alena.
Gadis berpiyama hello kitty itu bangkit mengambil secarik HVS dan mulai membuat List. Ada Mahesa si jago karate yang sudah duduk di kelas XII. Fath si jangkung yang baru saja meraih kejuaraan tenis meja. Alfaro si ketua OSIS dan Bagas si bintang perpustakaan.
Alena memberi peringkat tingkat popularitas nama-nama yang ada dalam daftar listnya. Dia pun memberi catatan tantangan dan peluang menjadi pacar cowok-cowok keren menurut versinya.
Kegilaan Alena belum berhenti sampai di situ. Dengan mata menerawang dan ujung pulpen yang sudah mulai penyok dan meninggalkan guratan gigi-giginya yang cukup tajam. Alena menghayalkan kebersamaan dengan salah satu diantara siswa terbaik itu. Senyumnya sesekali mengembang namun raut tegang juga beberapa kali tampak di wajah. Kali ini dia seolah sedang memerankan peran sebagai tokoh utama.
Alena meraih ponselnya. Dari empat nama yang dia tulis, dia mencari dalam daftar kontak adakah yang sudah dia punya?
"Alfaro," gumamnya.
Sang ketua OSIS dengan wajah Kunto Aji atau Ammar Zoni itu memang pernah satu kelompok saat MOS di kelas X dahulu. Sosok keras kepala dan pandai berdebat itu ada pada posisi ke dua dari peringkat dalam daftar listnya. Alena mulai mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan ujung bolpoin. Dia mengingat-ingat event apa yang biasanya di selenggarakan OSIS pada bulan-bulan seperti ini. Walaupun mengejar, Alena ingin cara yang ditempuhnya tetap elegan.Saat Alena sedang menyusun rencananya, nada dering ponselnya terdengar. Sebuah nama tampil pada layar datarnya. Damar.
Alena menekan tombol merah di sana. Namun mantan kekasihnya itu seperti tak putus asa. Berkali-kali ponsel Alena kembali berdering. Dengan gemas Alena akhirnya menekan tombol hijau.
"Ada apa?" tanyanya gusar.
"Lu pasti lagi kangen gue, iya kan? Ngaku saja." Suara di seberang sana terdengar tanpa beban.
"Gue, kangen? Hello, jangan GR ya, Mantan!" Akhir kalimat Alena terasa penuh tekanan.
"Biasanya kan gitu. Kalau lu kangen gue jadi terus-terusan ingat dan bawaannya gatel pengin ngebel."
"Damar. Kita sudah selesai dan gue nggak ada lagi urusan sama lu!"
"Nggak usah malu. Akui saja," olok Damar.
"Apanya yang diakui!" Alena mematikan ponselnya.
Beberapa detik Alena dibuat lega meski matanya masih awas memerhatikan layar. Baru saja dia bernapas panjang dan berpikir Damar berhenti mengganggunya, ponsel itu kembali berdering. Masih dari orang yang sama. Alena mengangkat telepon sambil berkacak pinggang. Seolah yang sedang berbicara padanya melihat gerak-gerik dan mimik wajahnya.
"Kalau lu pikir gue masih cinta lu, Mar. Salah, nol besar! Dengar ya baik-baik! Gue baru saja membuat daftar cowok incaran gue, dan nama lu sama sekali nggak ada di sini."
Dan yang mengesalkan karena ternyata tanpa dosa Damar menyahut di ujung telepon sana, "Apa? Maaf tadi gue nggak dengar. Ini si Leo ngajak bercanda Mulu."
Sia-sia omongan Alena yang panjang kali lebar kali tinggi dan diucapkan dengan nada berapi-api. Alena mendengus. Bibirnya terlihat maju beberapa senti, dadanya naik dan napasnya dia hembuskan keras-keras.
"Damar. Please jangan ganggu gue. Kisah kita sudah selesai. Gue bebas pilih jalan yang gue mau. Dan itu bukan sama lu." Akhirnya Alena mengucapkan kata-katanya dengan nada memelas.
Sesaat telepon mereka sama-sama hening. Tapi Alena masih menempelkan ponsel di telinganya. Sampai akhirnya damar kembali berucap pelan.
"Le. Please ya jangan tinggalin gue. Kalau lu butuh hibernasi hubungan kita. Ok, gue siap menjauh beberapa saat. Gue tetap bisa lihat dan perhatikan lu dari jauh kok." Suara Damar terdengar bergetar dan dia masih melanjutkan ucapannya. "Gue mungkin belum menjadi yang terbaik. Ok, gue siap berusaha biar bisa lu banggakan. Tapi please, tetap di sisi gue. Karena cuma lu penyemangat gue."
Lama keduanya tak bersuara. Namun diam-diam Alena menyeka air matanya.
"Maaf, Mar. Gue nggak bisa," sahut Alena pelan.
"Kenapa? Lu masih marah karena Kasandra? Sumpah gue nggak ada hubungan apa-apa sama si biang kerok itu," ucap Damar kesal.
"Heh, jangan bawa-bawa nenek sihir itu. Gue nggak ada urusan. Urusan gue sama lu, Mar!" Alena pun tampaknya kembali emosi.
"Jadi?"
"Kita putus."
"Kamu nggak berniat merubah keputusan?"
"Big no!"
"Kalau gitu gue do'ain lu bakal jomblo terus. Hubungan lu palingan seumur jagung."
"Lu nyumpahin gue?"
"Iya."
"Lu ngutuk gue? Kejam banget sih lu. Nyesel gue pernah jadi pacar lu, Mar."
"Asal lu tahu, gue cinta sama lu. Gue dah mengupayakan yang terbaik tapi selalu nggak ada nilainya di mata lu." Damar masih berteriak-teriak sampai akhirnya dia menyadari sambungan ponsel mereka telah terputus sejak beberapa menit yang lalu.
Alena mematikan ponselnya. Dia matikan lampu belajar, kemudian dia nyalakan lamp light scandinavian dream sebagai pengantar tidurnya. Berbagai kenangan bersama Damar kembali terlintas dalam ingatan. Alena membiarkan lamunan kembali hadir sampai akhirnya mata lelah dan terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMAN (Kutukan Mantan)
JugendliteraturKUMAN Kutukan Mantan Oleh : An Purbalien Alena ingin mempunyai pacar sempurna. Karenanya dia memutuskan Damar yang dianggapnya cowok biasa. Damar terkejut, karena dia merasa sudah berusaha menjadi kekasih terbaik bagi Alena. Alena tak ambil pusi...