KERIUHAN PAGI HARI

31 0 0
                                    

Alena tersenyum semringah saat namanya di panggil panitia. Dia berjalan dengan bangga menaiki anak tangga sampai akhirnya berada di atas panggung. Yang paling mendebarkan karena yang menyambut di sana Alfaro; sang ketua OSIS. Cowok berbadan tegap itu segera menyalami Alena dengan senyum terkembang. Saat piala diberikan oleh Guru Bahasa Indonesia, Alena memekik karena piala itu tergelincir begitu saja dari pegangannya dan pecah berkeping-keping.

Alena semakin terkejut saat namanya dipanggil dengan suara keras. Tapi tentu ini bukan panggilan dari MC ataupun panitia. Panggilan dengan ketukan keras di pintu  itu berasal dari suara Mama.

"Alena, ini yang terakhir ya. Terserah kamu mau bangun apa enggak. Mama repot kalau harus bangunin kamu terus. Mama sibuk!"

Sepertinya Mama Alena sudah beberapa kali berusaha membangunkan anak pertamanya. Hingga ditengah keputus asaanya karena yang dilakukan sia-sia, dia mulai gemas dan meninggikan frekuensi suaranya.

"Ya, Ma. Aku sudah bangun kok," jawab Alena sambil menggeliat.

Mama sudah keburu pergi saat Alena membukakan pintu dan melongok kan kepalanya ke luar.

"Dih, baru bangun," ejek Satria yang melintas dengan membawa kolase pekerjaan rumahnya.

Alena yang kesal mengepalkan tangannya seolah mengancam Satria. Namun sang adik yang sudah kebal justru memperlihatkan mimik meledek dan menjadikan Alena semakin kesal.

Alena melirik jam digital yang tergeletak di meja belajarnya. Dia terkejut karena ternyata sudah setengah enam. Terburu-buru dia menuju kamar mandi. Setelahnya Alena segera membuka jendela. Diambilnya buku geografi yang dari semalam tergeletak begitu saja di atas meja belajar.

Alena membolak-balik buku paketnya. Sesekali dia juga searching dari internet.

Sementara keadaan di luar kamar Alena tak kalah sibuknya. Mama sedang mempersiapkan sarapan pagi di dapur. Satria sedang mempersiapkan barang-barang yang dibawanya ke sekolah. Papa sedang membopong Alea yang kali ini bangun lebih pagi.

Bel pintu rumah Alena berdentang beberapa kali. Papa bergegas menuju ruang tamu, membukakan pintu dan mempersilakan tamunya masuk.

Papa duduk berhadapan dengan sang tamu. Lelaki setengah baya itu membawa berkas pengantar administrasi kependudukan yang butuh ditandatangani Papa.

Selain berprofesi sebagai arsitek, Papa Alena juga menjabat sebagai ketua RT di lingkungannya.

Alea yang duduk di pangkuan Papa mulai rewel. Balita dua tahun itu merengek gelisah.

"Sebentar ya, Sayang," bujuk Papa.

Tapi rupanya anak perempuan berambut ikal itu tak mau mengerti.  Sang tamu terlihat sungkan melihat keadaan tersebut.

"Sebentar ya, Pak," pamit Papa sebelum masuk ke dalam.

Papa menyusul Mama yang masih di dapur dan menyerahkan Alea sebelum kembali menemui tamunya.

"Alena, bantu Mama," panggil Mama dari arah dapur.

"Alena lagi bikin PR Ma," teriak Alena tak kalah keras.

Mama mengambil napas panjang. Lalu diserahkannya Alea pada Satria. Mama kembali melanjutkan pekerjaannya. Satria yang tidak terlalu suka anak kecil segera membopong Alea dan membawanya ke kamar Alena.

"Nih, Kak. Alea sama Kakak saja," kata Satria sambil meletakkan Alea di pangkuan Alena.

Alena yang gemas jadi memarahi Satria.

"Lu tuh ya, Kakak sudah bilang berapa kali. Kalau masuk kamar cewek ketuk pintu dulu!"

"Buru-buru Kak. Lupa," sahut Satria enteng.

"Kebiasaan! Cowok gentleman itu punya etika, tahu!"

Satria yang tahu perdebatan ini bakal jadi panjang akhirnya memilih mengalah. Sambil menutup pintu dia berkata, "Baiklah, gue minta maaf Tuan Putri."

Di luar kamar, Satria mengekspresikan kemenangannya. Yes! Kalah untuk menang. Itu strategi yang sering dia gunakan untuk mengalahkan Sang Kakak.

Ternyata di pangkuan Alena pun adiknya tak mau diam. List cowok keren yang dibuat semalam dia remas dan di masukkan ke mulut.

"Aduh Alea, diem dong," pinta sang kakak dengan wajah memelas.

Diambilnya kertas yang sebagian sudah basah oleh liur sang adik. Kemudian Alena letakkan  Alea di kursi. Dia bangkit, memandang ke sekeliling mencari sesuatu yang aman untuk mainan Alea.

Saat Alena sedang berpikir, ternyata dia melihat mainan Alea yang tertinggal di sudut tempat tidurnya. Namun saat Alena mengambil mainan itu dia terkejut mendengar suara kertas yang robek.

Bergegas Alena menuju meja belajarnya. Wajahnya langsung pucat saat tahu Alea menyobek pekerjaan rumahnya yang hampir selesai.

Alena bersimpuh sambil menutup wajah. "Alea, itu tugas Kakak. Kenapa kamu robek?" kata Alena nelangsa.

Adik kecil yang mengira sang kakak sedang mengajaknya bermain cilukba malah tertawa-tawa menggemaskan.

Mendengar tawa renyah Alea membuat Alena tak tega untuk marah. Tapi dia tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Wajahnya cemberut. Kemudian dengan gemas dia raih tubuh sang adik dan membawanya pada Mama.

"Ma, Alea merusak buku PRku," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu juga. Kenapa dia dikasih buku sekolah? Seharusnya kamu ajak bermain aja," kata Mama mengambil alih anak bungsunya.

Ingin rasanya Alena memberitahu dia bukan memberikan buku PR itu, tapi dia sedang merampungkan tugasnya. Tapi dia urungkan keluhan itu, karena tahu nasihat Mama akan jauh lebih panjang dari jawaban yang dia berikan.

Dengan sedih Alena menyatukan kembali kertas pekerjaan rumahnya. Setelahnya dia siapkan dan rapikan barang-barang yang hendak dia bawa ke sekolah. Bergegas Alena mandi dan bersiap, kemudian menyusul yang lain yang sudah berada di meja makan lebih dulu.

Alena sarapan pagi dengan terburu-buru. Kemudian semua pamit pada Mama dan Alea. Mama yang membopong Alea mengantar dari halaman. Mereka melambaikan tangan sampai mobil Papa bergerak pergi.

Papa terlebih dahulu mengantar Satria karena  lokasi sekolahnya lumayan dekat dari rumah. Setelah itu baru menurunkan Alena tak jauh dari gerbang SMADA.

Setelah menjabat tangan Papa, Alena berlari menuju gerbang. Apalagi Pak Agus sudah mulai menutup gerbang itu perlahan.

Beberapa teman senasib yang hampir terlambat melakukan hal yang sama. Tak disangka, lengan Alena bergesekan dengan seseorang. Keduanya sama-sama menoleh. Namun bukan permintaan maaf yang keluar dari mulut keduanya. Tapi tatapan sinis dan saling bermusuhan terpancar dari mata mereka.

(Bersambung)

KUMAN (Kutukan Mantan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang