Prolog

4 0 1
                                    


Logam pipih itu menari di atas permukaan kulit putih pucatku, mengalirkan cairan kental berwarna merah. Tidak ada isak tangis tentu saja, tubuhku telah mati rasa. Yang sedang kubunuh bukan sekedar tubuh, tapi juga hatiku yang terhimpit rasa perih tak terkira. Langit malam sedang bergemuruh dahsyat di luar sana seolah menjadi alunan pengantar kepergianku. Tapi kurasa bukan luka di tangan yang akan membunuhku, namun amarah, kecewa, air mata, luka, dan ketidakberdayaanlah yang akan lebih dulu menjemput ajalku. Mereka membombardir dadaku tanpa ampun, menghimpit hingga tak ada lagi ruang untukku bernafas, sesaknya menjalar hingga seluruh tubuh. Dan di ruang tidurku sendiri, tempat di mana bertahun-tahun kubangun tembok keangkuhan dan kekuatanku ini, aku mengaku kalah pada dunia. Aku menyerah.

Bertahun-tahun aku berteman karib dengan kegelapan, tempat terbaikku menyembunyikan luka. Hari inipun aku masih terbangun dengan keadaan yang sama, gelap gulita tanpa cahaya. Aku berjalan tanpa arah dan menemukan sosok anak kecil dengan tubuh tak berdaya memeluk dirinya sendiri, berusaha isaknya tidak bersuara. Sedangkan di depannya berdiri sosok besar yang sedang dibakar amarah, hinaan dan cacian terlontar bak panah yang menacap tepat di hati anak itu. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 16, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WAY MAKERWhere stories live. Discover now