Nights

764 99 38
                                    

Terlalu lama bersama kadang membuat kau jenuh dengan pasanganmu, bukan? Terlebih saat menikah, besar kemungkinan kau akan mudah marah dengan kebiasaan-kebiasaan kecil suamimu yang tak sesuai harapanmu. Namun, di sisi lain, saat bermalam-malam ia tak pulang, kau pun menyadari betapa kebiasaan-kebiasaan kecil itu menandakan presensi hangat dari orang yang paling kau cintai.

***

Temaram sinar rembulan mengintip di balik jendela. Tirai masih terbuka, ruangan masih gelap, dan seonggok manusia masih bergulung dalam hangatnya selimut. Jam digital di meja menunjukkan pukul sepuluh malam—bukan jam yang lazim bagi penghuni rumah itu untuk membiarkan seluruh kediamannya gelap gulita tanpa pencahayaan apapun. Kai Kamal Huening masih hidup dan terbaring di tempat tidur, sehat sejahtera, namun terlalu lemas dan malas untuk bangkit sejak ia terbangun.

Sebenarnya, jika ia ingin melanjutkan mimpinya lagi, Kai hanya perlu menutup mata. Namun, matanya sudah terlalu banyak terpejam. Sore tadi hujan deras, membuat udara menjadi sejuk dan suasananya mendukung untuk mengantarkannya pada Pulau Kapuk. Dan kini ia menyesal, menyia-nyiakan waktu malam harinya untuk terjaga karena ia tak dapat kembali tidur.

Kai meraba-raba meja nakas di samping tempat tidurnya, mengambil ponselnya. Potret dirinya bersama seseorang, saling berhadapan, dengan wajah berdekatan dan hidung yang saling bersentuhan menyambut mata Kai yang mengerjap karena cahaya yang terlalu terang. Ia membuka layar kunci tersebut dengan sidik jari, untuk mengecek notifikasi. Untuk sekian kalinya—tak ada pesan dari suaminya. Kai mendengus kesal. Ponselnya dilemparkan asal di samping bantal.

Soobin tak pernah meninggalkannya selama ini. Ia selalu ada setiap saat, tak pernah pergi terlalu jauh dari jangkauan Kai. Tetapi, sudah tujuh malam ia habiskan sendirian tanpa Soobin di sisinya. Pekerjaan yang menuntutnya keluar kota sangat lama, dan saat itu juga, Kai tak bisa mendampinginya karena urusan pekerjaannya sendiri.

Kehadiran Soobin dalam kehidupan Kai sudah terlampau biasa. Seperti udara yang Kai hirup—sudah terlalu biasa, hingga Kai tak menyadari proses respirasi yang ia lakukan untuk hidup. Sepaket dengan kebiasaan-kebiasaan menjengkelkan Soobin setiap hari, yang membuat ia tak henti-hentinya mengomel pada suaminya itu. Misalnya, handuk basah yang ia taruh di kasur saat selesai mandi, yang membuat sprei yang baru diganti menjadi basah pula. Atau, kebiasaan tidurnya yang ileran, yang membuat Kai harus mengganti sarung bantal hampir setiap hari. Belum lagi kebiasaannya menaruh benda di sembarang tempat—sendok kotor di meja kopi, koper di garasi mobil, atau ponsel yang sembarangan ia letakkan sesuka hati. Kebiasaan-kebiasaan yang membuat Kai sakit kepala sebelah karena harus bekerja dua kali untuk membereskan rumah.

Bahkan, kalau ia ingat-ingat lagi, beberapa bulan ke belakang ini ia lebih sering marah pada Soobin karena kebiasaannya yang kurang rapi. Sebagai seseorang yang diajarkan untuk selalu apik dan tertib, Kai tidak bisa sedikit saja melihat sesuatu tidak bersih atau tidak sesuai tempatnya. Suaminya adalah lelaki yang paling baik yang pernah Kai temui—namun ia sendiri merasa sulit menyesuaikan diri dengan kebiasaan buruknya. Hingga ia sendiri lupa, selain kebiasaan buruk itu, Soobin adalah sosok yang ia idamkan selama ini.

Kini, sudah tujuh malam Kai sendiri. Tidak ada handuk basah di tempat tidur atau sendok kotor di meja kopi. Selama satu minggu rumah tetap rapi, membuat pekerjaan Kai lebih ringan dari sebelumnya. Kini ia bisa lebih fokus untuk menjalani pekerjaannya mengurusi situs dan mengerjakan laporan keuangan cafe dan toko bunga milik Beomgyu. Lalu memasak, atau sedikit olahraga, seperti basket atau bersepeda di sore hari.

Satu minggu tanpa Soobin. Harusnya ia sedikit lega, tak ada orang yang membuatnya sering sakit kepala itu, bukan? Seharusnya Kai baik-baik saja seminggu ini. Ia bisa menikmati banyak waktu sendiri, seperti saat sebelum menikah dulu. Ia bisa lebih banyak bersantai membaca novel favoritnya, tanpa harus tergopoh-gopoh saat mendengar klakson mobil. Seluruh ranjang miliknya, sehingga ia bebas berguling kemana pun tanpa terpojok tubuh raksasa yang sering tiba-tiba mendusal pada tengkuknya.

Seberapa banyaknya keleluasaan yang ia rasakan sendirian, di malam ketujuh itu ia tak kuat lagi. Kai rindu Soobin.

Ia menarik bantal bersarung putih di samping kepalanya—bantal yang selalu digunakan Soobin. Samar-samar, ia dapat mencium aroma tubuh suaminya. Ternyata, jika tak ada iler yang menetes di permukaannya, bantal Soobin sangat wangi. Aroma cedarwood dengan sedikit citrus khas parfum yang biasa digunakan Soobin menempel pada sarungnya, membuat Kai menyesap aroma itu dalam-dalam. Kakinya mengelus bagian bawah sprei—bagian yang biasanya basah karena handuk yang ditaruh Soobin—namun kini kering karena tak ada yang mandi dan menaruh handuk sembarangan. Selimut mereka berdua yang kini membalut tubuhnya, menyisakan kehangatan yang bisa ia rasakan dari dekapan Soobin.

Ia menutup mata sambil tetap mendekap erat bantal suaminya. Ia tak pernah serindu ini pada Soobin. Jika Soobin ada di dekatnya, ia hanya akan mengingat suaminya yang punya segudang kebiasaan buruk. Namun saat Soobin tak ada, tempat tidur terasa dingin, mau seberapa banyak lapis selimut yang membalut tubuhnya. Rumah mereka terasa kosong, mau seberapa padat dan rapi isinya. Segala benda yang tersusun baik tak berarti, jika tak ada presensi Soobin di setiap sudutnya.

Setitik buliran bening jatuh dari matanya, membasahi bantal putih dalam dekapannya. Disusul buliran-buliran bening yang tak terbendung lagi, membasahi permukaan bantal.

"Kau belum tidur?"

Suara berat itu berbisik pelan di telinga Kai. Perlahan, ia buka mata cantiknya—hanya untuk menemukan lelakinya tersenyum, sambil mengelus rambutnya lembut.

Ia terdiam sejenak—sempat berpikir bahwa ini mimpi atau kenyataan. Namun, menyadari bahwa presensi suaminya bukan sebuah halusinasi, ia tak mampu menahan diri lagi. Perlahan, ia tarik tubuh besar itu dalam dekapannya, dan mengeratkan pada tubuhnya sendiri. Isakan pelannya teredam saat ia sembunyikan wajah pada dada Soobin.

"Sayang, aku belum mandi, dan belum ganti baju, lho," gumam Soobin pelan.

Lelaki mungil di sampingnya malah semakin mengeratkan pelukan mereka. Kepalanya mendongak sedikit, agar matanya yang berantakan dengan air mata dapat bersirobok langsung dengan manik suaminya.

"Peduli amat. Tetap disini. Jangan pergi lagi."

Mendengar tujuh kata dari bibir manis Kai, Soobin tertawa pelan.

"Baiklah, kalau itu maunya Kesayanganku."

Dengan perlahan, Soobin menarik selimut yang ia tindih di bawahnya, lalu membalutkan gumpalan kain tebal itu pada tubuhnya bersama dengan Kai. Tangannya mengelus lembut punggung Kai yang masih terisak pelan.

Kamar gelap gulita itu hanya diterangi redupnya sinar rembulan. Namun dengan hadirnya Soobin, kamar itu tak sedingin saat Kai melewati tujuh malam tanpa suaminya.

***

Widih rajin amat daku, sehari kemudian langsung up satu chapter lagi. Sungguh bukan diriku yang biasa.

Awas malem minggu baper ya. Mungkin aja kamu bisa meluk bantal pas lagi kangen sama doi, kaya Kai. Tapi bedanya ga ada Soobin yang tiba-tiba dateng buat cupcupin sambil elusin punggung kamu wkwkwkwk.

/author ketawa jahat/

Trivia | Choi Soobin, Huening KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang